Mohon tunggu...
Ega Ariyanti
Ega Ariyanti Mohon Tunggu... Penulis - Orang biasa-biasa saja

Terima kasih atas partisipasi pembaca! Mohon kritik dan saran supaya penulis bisa lebih baik lagi :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jangan Mencela, Doakan Jika Itu Usaha Terbaikmu!

18 April 2019   19:32 Diperbarui: 18 April 2019   19:38 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa waktu yang lalu, Ria jalan-jalan di sekitar rumah neneknya. Kebetulan ia mengendarai mobil sendiri tanpa ditemani sopir. Ketika melewati perempatan kebetulan lampu merah tengah menyala, Ria pun menghentikan mobilnya secara perlahan.

"Baru pertama kali aku pergi ke kota ini lagi setelah 10 tahun lamanya." Gumamnya sendiri.

Ia memperhatikan keadaan di sekitar perempatan. Pandangannya terpaku pada seorang ibu yang tengah memangku anaknya, sambil menyuapi anak tersebut dengan pisang yang ada ditangan kanannya sementara tangan kirinya nampak memegang mangkuk kecil yang berisi uang receh.

Apakah ia seorang pengamen? Sementara Ria tidak menemukan alat musik sederhana yang biasa dibawa pengamen kemana-mana. Lalu apakah ia seorang pengemis? Sepertinya, iya.

Iya tak bisa turun begitu saja meninggalkan mobilnya dan bertanya langsung pada si ibu. Tak terasa lampu hijau menyala, mempersilahkan setiap pengendara melewati jalanan besar nan ramah itu.

Ria menepikan mobilnya di jalur kiri dan mencari parkiran yang tak jauh dari traffic light di perempatan tadi.

"Kiri kiri kiri.. poll kanan.. kiri sedikit.." Begitu teriak juru parkir.

Ria turun dari mobilnya dan dengan cepat berjalan menuju si ibu tadi. Tampak ibu itu masih dalam posisi yang sama seperti tadi.

"Permisi ibu, boleh ikut saya sebentar?" Tanya Ria dengan lemah lembut.

Ibu itu tampak ragu dan takut, tetapi ia mengangguk dan mengikuti langkah Ria menuju mobilnya.

"Ini kita kemana ya mbak?" Tanya si ibu.

"Perkenalkan bu, nama saya Ria. Nama ibu siapa?"

"Nama saya Yatmi. Saya biasa dipanggil Mbak Mi. Ini anak saya Arsa. Kita kemana ya mbak?" Tanya Bu Yatmi lagi.

"Bu Yatmi tidak perlu khawatir. Saya nanti akan memulangkan ibu kok. Saya hanya akan mengajak ibu berbincang dengan nyaman dan tenang." Jelas Ria.

Mobil Ria belok di sebuah kompleks Belanda dan memasuki halaman rumah yang sangat luas dengan arsitektur Belanda yang kuat dan masih terawat hingga sekarang. Ya, itu rumah neneknya.

Selama 10 tahun belakangan, Ria tinggal di Belanda bersama sang ibu. Sementara ayahnya sudah lama dipeluk Bumi. Kini, ia pulang ke Indonesia bersama ibunya untuk menemani sang nenek yang sudah menua.

"Bu Yatmi bisa duduk dulu." Kata Ria.
Ria masuk ke dalam rumah dan membawa toples berisi castangel serta 3 cangkir es teh manis.

"Mari diminum bu."

Bu Yatmi tanpa ragu meminum es teh yang disediakan itu, dalam beberapa detik saja es teh itu raib. Serta Arsa tampak lahap dengan kue keju lezat itu.

"Jadi begini bu. Saya ingin bertanya pada ibu tentang kehidupan sehari-hari Bu Yatmi. Apakah boleh?"

Bu Yatmi mengangguk, kemudian ia mulai menceritakan kehidupannya..

"Jadi begini mbak Ria. Pekerjaan sehari-hari saya adalah mengemis dan memulung. Setiap pagi saya bangun sebelum subuh dan merapikan rumah saya. Setelah itu saya pergi ke surau untuk melaksanakan solat subuh. Kemudian saya pergi dengan membawa karung kosong alias memulung berkeliling di daerah saya. Terkadang tetangga saya memberikan saya banyak barang plastik atau barang bekas. Dan saya mengumpulkannya ke pengepul. Setelah itu saya pulang ke rumah dan menjaga anak saya ini. Selama mulung, ya, suami saya yang pegang. Suami saya sakit-sakitan. Jadi cuma bisa di rumah saja. Begitu selesai dhuhur saya pergi ke perempatan untuk mencari nafkah yang lain dengan jalan meminta-minta. Saya bingung harus ngapain lagi. Ijazah saja saya nggak punya. Kemampuan saya paling cuma bersih-bersih. Saya sudah mencari jasa sebagai pembantu tetapi tidak ada yang membutuhkan. Kalau siang anak saya kadang rewel dan minta ikut. Kadang saya kasihan tapi gimana." Kata Bu Yatmi panjang lebar.

Tampak Ria menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Sementara Bu Yatmi sepertinya sudah kebal dengan perasaannya. Arsa yang masih balita hanya bisa menatap ibunya dan terheran-heran akan setiap kata yang terucap.

"Apa Bu Yatmi tidak pernah marah akan keadaan?" Tanya Ria.

"Awalnya saya marah dan sedih. Kenapa gusti Allah seperti ini pada saya. Tetapi saya pikir-pikir lagi, sepertinya Allah akan mengangkat derajat saya. Mungkin suami saya akan sembuh atau pekerjaan saya bisa lebih layak dan bisa menabung untuk masa depan Arsa."

Ria menggenggam tangan Bu Yatmi dengan sungguh-sungguh, "Saya akan membayar seluruh biaya sekolah Arsa dari dia paud sampai kuliah. Bu Yatmi tenang saja. Dan Bu Yatmi boleh bekerja di rumah ini."

Bu Yatmi menangis, "Kita sebelumnya tidak saling kenal mbak. Kenapa mbak begitu baik? Kenapa bisa percaya semudah ini?"

"Saya tidak tau bu. Rasanya sulit membayangkan jika saya diposisi Bu Yatmi. Tegar dan kuat. Dan hati saya yakin, ibu adalah orang yang baik. Saya juga sudah izin nenek saya selaku pemilik rumah ini dan beliau mengizinkan."
Arsa tiba-tiba menghampiri Ria dan memeluk wanita itu.

Dari jendela, nenek Ria melihat semua yang terjadi, ia memegang sebuah figura, dan berkata, "Lihat anak kalian, didikannya tumbuh hingga kedalam darah dan hatinya bukan hanya dikulitnya saja."

Ingat ini hanyalah cerita fiksi yang saya harap kalian bisa memetik sesuatu di dalamnya. Yang jelas sebagai manusia carilah sesuatu dari banyak sisi. Lihatlah satu hal dari berbagai sudut pandang supaya tidak keliru dalam menafsirkan, barangkali bukan keliru hanya saja kurang tepat.

Seorang pengemis, mengemis karena terpaksa atau melihat keadaannya. Ada juga karena ingin kaya dengan cara instan. Ada juga karena tidak ada lagi yang bisa di toleh. Kita tidak tau motif mana yang digunakan oleh pengemis yang sering kita temui dijalan. Tetapi ada baiknya tak mencela. Jika ada hal yang bisa kita lakukan untuk membantunya, bantulah. Jika tidak, kata ibuku, doakanlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun