[caption caption="Visualisasi mitologi Narsis. Foto: suaramerdeka.com"][/caption]Sejak turun tahta hampir dua tahun silam Pak Mantan gencar mengritik Presiden Jokowi hingga kini. Bukan saja mengritik, Pak Mantan membandingkan capaiannya selama 10 tahun ia berkuasa. Banyak kalangan dan pengamat politik mengharkat bahwa Pak Mantan ini mengidap sindroma pasca-kekuasaan atau yang dikenal dengan post-power syndrome. Sebagai “pembela” Pak Mantan saya menyatakan pendapat mereka itu salah, tidak berdasar, bahkan keji. Itu fitnah!
Fenomena Pak Mantan ini membuat saya melayang jauh ke belakang ribuan tahun yang lalu. Di sini saya berjumpa sebuah kisah mitologi Yunani. Kisah ini mirip dengan kisah Pak Mantan pada masa kini.
Mitologi Narsis
Ada sorang pemuda tampan bernama Narsis. Setiap ia berjalan selalu saja menjadi pusat perhatian orang. Maklumlah ia anak blasteran: dewa dan bidadari. Akan tetapi di balik wajah rupawan Narsis tertanam sifat kaku dan angkuh.
Sudah barang tentu banyak gadis yang terpesona dan jatuh cinta kepadanya. Narsis tetap bergeming. Ia jual mahal. Satu di antara gadis yang gandrung kepada Narsis adalah Gema, seorang gadis jelita. Namun Gema memiliki cacat bicara. Ia tidak mampu mengucapkan kalimatnya sendiri. Ia hanya mampu mengulang potongan kalimat terakhir yang didengarnya.
Karuan saja komunikasi antara Narsis dan Gema tidak terjalin baik. Komunikasi mengalami pelencengan. Gema mengalami frustrasi, karena cintanya tidak didengar dan mendapat tempat di hati Narsis.
Dari penggalan kisah di atas kita mengenal narsisme yang diambil dari nama pemuda Narsis itu, yaitu perilaku yang yang memerhatikan diri sendiri secara kelewatan. Orang yang berpribadi narsistik akan menonjolkan egosentirsme; segala sesuatu dilihat dari sudut pandang diri sendiri. Ia selalu melihat dirinya sebagai subjek, sedang orang lain sebagai objek. Ia tidak menyadari bahwa dirinya menjadi objek ketika orang lain melihat dirinya. Seorang narsistik sukar menerima cinta dan sekaligus sukar memberi cinta.
Kisah Narsis Masa Kini
Ada seorang pemuda tampan bernama Pak Mantan. Ia bukan saja tampan, tetapi juga seorang pemusik dan pencipta lagu. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin demi penampilannya yang tampan itu. Tidak boleh ada cacat cela. Sebagai pemusik dan pencipta lagu ia tidak akan berpenampilan seperti Ahmad Dhani, karena baginya akan mengurangi ketampanannya yang paripurna. Bagi Pak Mantan ketampanan dirinya sama artinya keberhasilan kepemimpinannya.
Banyak orang yang memuja Pak Mantan. Tidak ketinggalan Jokowi. Sama seperti gadis Gema di atas Jokowi ini juga “cacat” bicara. Yang Jokowi lakukan hanyalah kerja, kerja, dan kerja sebagai sarana komunikasinya. Ketika Jokowi berkunjung ke Hambalang dengan maksud menyelamatkan harta negara, akan tetapi komunikasi yang sampai ke Pak Mantan mengalami distorsi. Yang didengar oleh Pak Mantan adalah potongan terakhirnya saja yaitu projek mangkrak.
Seperti mitologi Yunani di atas tadi Pak Mantan yang selalu menginginkan menjadi subjek jelas tidak mau menerima dijadikan objek. Pengidap narsistik sukar mengagumi orang lain yang lebih dahsyat “ketampanannya” lewat karya-karyanya. Ia juga sukar memercayai orang lain.