Mohon tunggu...
Efron Dwi Poyo
Efron Dwi Poyo Mohon Tunggu... -

Fanatik FC Bayern München. Mia San Mia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan Lebay Universitas Indonesia terhadap LGBT

22 Januari 2016   07:35 Diperbarui: 4 Februari 2016   09:03 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

=Akhir kutipan=

Saya bangga pada almamater saya, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STTJ), yang kerap mendapat stigma “liberal”. STTJ, yang berusia lebih tua daripada UGM, menjadi tuan rumah bagi sekitar 50 orang kaum LGBT dua tahun silam.  Selama sepekan kaum LGBT menjadi tamu STTJ.

“Semula aku mengira mereka berperilaku cabul dan aneh. Setelah seminggu bergaul dengan mereka aku malah kagum. Mereka sama seperti kita. Disiplin, sopan, dan warga gereja yang serius.” Ucap seorang mahasiswa STTJ. “Bukan mereka yang perlu sadar, tetapi justru kita, sebab selama ini kita mengolok-olok mereka. Kita sama, yang berbeda cuma orientasi seksual.” Sambung mahasiswa lain seperti yang ditulis oleh Andar Ismail yang secara khusus menulis bab LGBT dalam “Selamat Berpadu” (2014).

Menurut Pak Andar, dosen dan begawan pendidikan orang dewasa STTJ, tidak ada orang yang lahir sebagai laki-lki sejati atau perempian sejati. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa di dalam diri setiap orang terdapat anasir laki-laki dan perempuan. Jika pada anak laki-laki terdapat jauh lebih banyak anasir laiki-laki, maka ia barangkali berorientasi heteroseksual. Sebaliknya, jika pada anak laki-laki itu terdapat jauh lebih banyak anasir perempuan, maka ia barangkali berorientasi homoseksual. “Hukum” ini berlaku juga bagi anak perempuan.

Pada umumnya orang heteroseksual menikah. Namun orang  homoseksual ada  juga yang menikah dan yang lesbian mengandung serta melahirkan anak. Oleh sebab itu orang yang menikah dan beranak belum tentu heteroseksual termasuk mereka yang membuat surat edaran UI tersebut.

Duduk perkaranya memang pelik (dengan “k” ngahahaha). Sungguh keliru apabila menganggap para homoseksual sebagai orang yang kurang berakhlak. Akhlak atau moral mereka sama seperti heteroseksual. Sama bersih dan sama kotornya. Juga sangat keliru jika heteroseksual memandang homoseksual sebagai penyakit sehingga perlu disembuhkan. Konyolnya lagi orang heteroseksual yang mendaku suci memerintahkan kaum homoseksual bertobat.

Konseling dapat menolong para homoseksual untuk menerima dirinya, bukan untuk mengubah jatidirinya, apalagi memerintahkan bertobat. Sungguh naif apabila pemuka agama atau psikolog berkata bahwa orang homoseksual harus bertobat menjadi heteroseksual. Itu sama naifnya dengan menyuruh orang kulit hitam bertobat menjadi orang  kulit putih, cetus Pak Andar.

Dalam pada itu kaum biseksual merasa tertarik kepada dua jenis kelamin. Jumlah orang biseksual lebih banyak daripada homoseksual. Seorang lesbian atau gay sama sekali bukan biseksual.

Transgender? Apakah mereka sama dengan lesbian atau gay? Tidak sama! Seorang lesbian mempunyai jatidiri yang  jelas, yaitu perempuan. Demikian juga halnya gay yang berjatidiri laki-laki. Akan tetapi seorang transgender perempuan tidak merasa perempuan dan tidak mau dianggap perempuan, melainkan merasa diri laki-laki dan ingin dianggap laki-laki. Demikian halnya sebaliknya yang terjadi pada seorang laki-laki transgender. Pada umumnya seorang transgender mengalami kebingungan akan jatidiri berkepanjangan. Jumlah orang transgender sedikit. Ada pula penyandang transgender menjalani bedah ganti kelamin dan mendapat pengesahan pergantian kelamin.

Apa itu transvestit? Apakah ini sama dengan homoseksual? Tidak sama! Transvestit atau yang disebut dengan banci atau waria umumnya adalah laki-laki heteroseksual yang suka berpenampilan perempuan. Di antara mereka juga terdapat laki-laki transgender. Transvestit bukanlah gay.

Pak Andar sangat menyayangkan masyarakat umum, termasuk pemuka agama, kurang mengetahui duduk perkara keanekaan orientasi seksual ini. Para pemuka agama, termasuk penguasa universitas, yang kurang memahami duduk perkara itu akan dengan mudah menghakimi. Akibatnya mudah muncul kecurigaan, prasangka buruk, dan penghakiman terhadap orang yang berbeda. Akibat selanjutnya orang yang berbeda orientasi seksual diperlakukan tidak adil, disingkirkan, didiskriminasi, dan diolok-olok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun