Kebetulan sewaktu saya kuliah di Malang, hari raya Idulfitri bersamaan dengan libur panjang semester genap selama empat tahun berturut-turut, dari Juni sampai Agustus.
Menjadi kebiasaan saat libur semester datang, mahasiswa pulang ke kampung halaman masing-masing. Karena momen libur semester bertepatan dengan suasana Lebaran, kadang kala pulang kampung harus ditunda menunggu harga tiket kembali normal.
Atau tidak pulang sama sekali akibat harga tiket pesawat sudah sangat kelewat mahal yang bila dihitung-hitung setara biaya hidup anak kost selama dua bulan.
Ini menjadi dilema bagi perantau jauh seperti saya untuk pulang kampung ke kota Medan.
Lebih baik tinggal di Malang dan merasakan sepinya kota ini tanpa mahasiswa. Untunglah, saat itu, saya tidak sendirian karena beberapa teman saya juga memilih tidak mudik karena alasan yang sama.
Di sini kami mengatur rencana, mengumpulkan nama teman-teman kami yang asli Malang. Setelah itu, kami menjanjikan waktu untuk "berhari rayaan" atau bersilaturahmi ke rumahnya. Ia dengan senang hati menyambut kami.
Di hari-hari berikutnya, Ibu kost membuat acara khusus untuk anak-anak kost berkumpul untuk makan bersama.
Lumayan, silaturahmi selama Lebaran membantu perbaikan gizi dan mengenal kehidupan warga lokal. Ditambah lagi, saya diberikan kue untuk disimpan sebagai cadangan manakala terjadi "darurat perang" alias kantong tipis di akhir bulan.
Sewaktu kecil, orangtua sering mengajak untuk berkunjung ke rumah kenalan saat hari raya. Ada ketupat, lontong, opor ayam dan bermacam kue yang ditawarkan.
Setelah bekerja, selain bersilaturahmi ke rumah rekan kerja beragama Muslim dengan judul "berhari rayaan", Lebaran juga menjadi waktu untuk rekreasi.
Itulah sedikit kisah kecil kehidupan saya. Perayaan Lebaran memberikan sukacita. Sejauh ini, tidak ada larangan dari Uskup untuk ikut merayakan Lebaran. Puji Tuhan! Semoga Lebaran tahun depan kembali normal.