Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perubahan dan Keanehan di Terminal Tirtonadi Solo

10 September 2017   04:34 Diperbarui: 10 September 2017   22:20 8185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Loket Penjualan Tiket di dalam Terminal (Dokumentasi Pribadi)

Para kondektur silih berganti menawarkan kota-kota yang menjadi tujuan dan perlintasan bisnya. Pekikan suara lebih tingi. Maju, mundur, berangkat, ayo, Jogja, Boyo (Surabaya) dan nama lainnya.

Apa salahnya saya singgah di salah satu warung sambil menunggu teman yang akan menjemput. Suara-suara tadi menjadi nada yang biasa ketika menikmati makanan dan segelas kopi. Seorang lelaki datang mengambil makanan, membayarnya, sejurus kemudian ia pergi. Lelaki lain datang lagi. Bagaikan kilat, waktu santapnya tidak sampai satu menit, lalu pergi. Seterusnya, orang-orang yang datang berlaku seperti ini selama hampir setengah jam berjalannya waktu. Mereka adalah kondektur dan supir bis yang hanya singgah di terminal ini.

Setelah keluar dari terminal, suasana mulai berubah pelan-pelan. Teman saya mengendarai kendaraannya menjauh dari terminal.

Sepanjang perjalanan, saya bercerita perjalanan sejak keberangkatan hingga akhirnya tiba di kota ini. Entah sampai dimana cerita itu, saya tertidur karena kelelahan yang menumpuk semalam suntuk.

Dua tahun berlalu. Oleh karena panggilan kerja, saya kembali menginjakkan kaki di Kota Solo. Empat hari lalu, pagi yang ramai, jam tujuh. Saya turun di tempat pemberhentian Terminal Tirtonadi.

Pintu keluar timur itu masih dalam ingatan. Saya ingin ke sana, menambal perut dengan makanan kecil. Namun, tidak ada lagi warung-warung. Langkah kaki terhenti, mencoba melihat ke atas, langit yang luas di atas kepala waktu itu. Tidak ada langit, kecuali beton yang menjadi atap.

Saya mengambil jalan yang salah. Bergerak lagi sembari mengingat memori dua tahun yang lalu. Petugas berseragam mencegat saya. Salah lagi. Semua penumpang yang turun harus masuk melalui pintu masuk terminal.

Ketika masuk, sambutan dari beberapa tukang ojek menawarkan jasanya, namun saya menolak. Saya bertanya kepada bapak ini, dimana letak pintu keluar timur. Tangannya menunjuk ke arah perjalanan saya yang semula.

Jalan menuju Pintu Timur Terminal (Dokumentasi Pribadi)
Jalan menuju Pintu Timur Terminal (Dokumentasi Pribadi)
Sekarang saya baru sadar, mungkin inilah wajah baru dari tiang-tiang beton dahulu. Warung-warung yang berjejer tadi hanyalah sementara waktu. Di sana ia telah diganti menjadi pencucian bis.

Sebelum beranjak, saya merasa ada yang berbeda. Tempat ini tidak seperti terminal dalam bayangan dan realitanya selama ini. Pekikan suara yang ramai memanggil penumpang atau nama lainnya tidak seramai dahulu.

Ada loket penjualan di sini dengan petugas berseragam rapi. Lagi-lagi imajinasi menjadi kacau. Dalam pandangan mata, wajahnya baru sekaligus asing. Mulai dari pintu masuk, kemudian petunjuk arah untuk menemukan bis tujuan dibuat teratur. Ada penanda untuk jalur mereka yang berkebutuhan khusus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun