Mohon tunggu...
Efraim Mangaluk
Efraim Mangaluk Mohon Tunggu... Wadah Berkisah Tentang Kita di Timur

Dosen Humaniora Universitas Ottow Geissler Papua

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

5 Tahun Jejak Pandemi; Antara Krisis dan Resiliensi

15 April 2025   14:02 Diperbarui: 15 April 2025   14:47 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pandemi telah mengajari kita bahwa krisis adalah realitas yang tak terhindarkan. Namun, bagaimana kita meresponsnya akan menentukan apakah kita sekadar bertahan atau benar-benar bangkit sebagai bangsa yang lebih kuat.

Luka Kolektif dan Kebangkitan Nasional

Lima tahun telah berlalu sejak pandemi COVID-19 mengguncang dunia. Sebuah bencana yang bukan hanya sekadar krisis kesehatan, tetapi tsunami sosial-ekonomi yang memorak-porandakan fondasi global. Dari lockdown hingga lonjakan angka pengangguran, dari gelombang misinformasi hingga ledakan inovasi digital-pandemi adalah panggung besar yang menguji daya lentur (resilience) bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Namun, pertanyaannya kini: Sejauh mana kita telah bangkit? Apakah krisis ini sekadar menjadi episode gelap dalam sejarah, atau justru momentum redefinisi cara kita menjalani hidup, bekerja, dan berinteraksi? Mari kita menyusuri jejak pandemi, dari titik nadir hingga era kebangkitan.

Maret 2020 menjadi tonggak sejarah yang menandai awal dari ketidakpastian. Virus yang tak kasat mata ini melumpuhkan dunia dalam hitungan minggu. Kota-kota mendadak senyap, ekonomi tersendat, dan manusia dipaksa beradaptasi dengan realitas baru. Lockdown, social distancing, dan PSBB menjadi jargon sehari-hari, menggantikan obrolan ringan tentang cuaca atau rencana liburan.

Kesehatan mental juga mengalami guncangan. Istilah "quarantine fatigue", "pandemic burnout", hingga "infodemi" menjadi tren global. Masyarakat dibombardir oleh tsunami informasi-yang tak semuanya akurat. Hoaks merajalela, menambah kepanikan yang sudah akut.

Di sektor ekonomi, gelombang PHK besar-besaran menciptakan fenomena "The Great Resignation", di mana jutaan orang kehilangan pekerjaan atau memilih hengkang dari pekerjaan yang tidak lagi sejalan dengan prioritas hidup mereka. Pandemi memaksa dunia kerja berubah secara drastis-remote working, gig economy, dan digital entrepreneurship mengalami percepatan eksponensial.

Namun, di balik kegelapan krisis, lahirlah era akselerasi inovasi. Pandemi adalah katalisator bagi revolusi digital yang telah lama tertunda. Pendidikan, bisnis, hingga layanan publik dipaksa untuk merangkul teknologi secara penuh.

EdTech Boom: Sekolah dan universitas beralih ke mode pembelajaran daring, meskipun dengan berbagai tantangan digital divide. Telemedicine dan Digital Health: Konsultasi medis virtual meningkat drastis, mengubah paradigma layanan kesehatan. E-Commerce dan Cashless Society: Pola konsumsi masyarakat bergeser ke ranah digital, mempercepat transisi ke ekonomi berbasis teknologi.

Dalam konteks pemerintahan, pandemi juga memicu reformasi besar-besaran di sektor layanan publik. Sistem big data epidemiologi dikembangkan, integrasi kartu vaksin digital menjadi keharusan, dan tata kelola kesehatan mengalami transformasi signifikan.

Pandemi juga menyadarkan kita akan pentingnya ketahanan rantai pasok global. Dari krisis chip semikonduktor hingga lonjakan harga bahan baku, dunia belajar bahwa ketergantungan pada satu sumber produksi adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun