"Hei, Mbak minuman apa ini, kok rasa kayu?" Tampak seorang pria separo baya tengah mengajukan "komplain" kepada seorang pramusaji wanita di dekatnya.
"Hahaha.... Maaf, Bapak, itu hanya hiasan pada jus kelapa (coconut juice), nggak untuk dimakan," spontan tawa itu menyeruak keras dari pramusaji seusai melihat seorang pelanggan menggigit miniatur payung yang 'nyender' di pinggir gelasnya.
Kejadian itu lucu itu terjadi ketika saya dan teman semasa kecil Raymond Tungkas tengah makan di sebuah restoran di Ujungpandang (kini Makassar) pada era 1990-an.
Kami akhirnya ikut terbahak kendati pun telah berusaha sekeras mungkin untuk tidak menertawai kejadian lucu tadi. Pelanggan di seberang meja kami itu, kalau tidak mau secara sarkastis kami katakan "ndeso", tentu belum memahami apa fungsi "benda" yang terbuat dari tusuk gigi dan kertas warna-warni yang melentuk "payung mini" yang di-"makan"-nya.
"Bapak... maaf, itu tadi hanya hiasan atau pemanis tampilan minuman, terbuat dari tusuk gigi steril dan kertas warna menyerupai payung. Namanya, garnish," jelas pramusaji tersebut.
Dengan berbisik-bisik, dalam posisi mulut mengulum tawa, saya bilang ke Raymond yang juga masih menahan tawa.
"Untung giginya nggak patah ya, atau tusuk giginya keselak di lehernya," kata saya sembari terkikik dalam nada bisik.
Terus terang, hal serupa memang lazim terjadi bukan hanya pada minuman akan tetapi juga makanan. Pasalnya, dunia gastronomi pada era 1990-an belum semaju saat ini. Apalagi, belum banyak pelaku kuliner lokal yang menggunakan "garnish" atau "garnishing" sebagai trik untuk memperindah tampilan makanan maupun minuman kecuali restoran mewah dan resto subhotel kelas bintang empat atau lima di kota-kota besar Indonesia.