Beberapa waktu lalu aku mengikuti workshop yang diadakan bagi para finalis blog kompetisi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Sedikit ulasannya dapat dilihat di sini.
Sama seperti tahun sebelumnya, pembicara untuk kelas blogger adalah Mas Nurulloh yang juga COO Kompasiana. Seru? Tentu. Apalagi dominasi dari bahasan tersebut adalah hal baru bagiku.
Dari sekian banyak bahasan, ada satu hal yang sepintas dibahas, yakni bagaimana kata-kata kasar kini jadi hal yang terdengar wajar dan seperti mulai mengakar (semoga saja tidak) seperti: g*bl*k, b*ngs*t, t*i.
Ada juga bahasa yang sebetulnya bermakna buruk malah sekarang jadi terdengar seolah hal baik dan mengagumkan, seperti: parah, gila. Bikin tweet di Twitter misalnya atau saling berbalas komentar di media sosial.Â
"Wkwkwkwk, lucu anj*ng"
Ih apaan? Lucu ya lucu aja kenapa harus bawa bawa anjing sih? Salah anjing apa? Anjing itu lucu tau!
Atau, "Kocak banget b*ngs*t" ya apa sih? Itu kagum karena kelucuan seseorang atau sesuatu atau kenapa sih? Kok bawa-bawa b*ngs*t segala?
Ini bener ngga sih? Coba deh perhatiin orang-orang pada meninggalkan komentar di media sosial. Kok rasanya tiap kali ada hal yang menakjubkan kata-kata ini tak jarang muncul.Â
Dalam percakapan singkat sesama orang kebingungan dengan fenomena ini (bisa disebut fenomena ngga sih) kami menarik kesimpulan setidaknya untuk kami bertiga, bahwa kata-kata tersebut merupakan bagian dari ekspresi orang-orang yang sedang kaget, takjub atau kagum dengan sesuatu hal. Tapi maksudku, kok yo dimaki gitu?
Kalau takjub bukankah akan lebih baik jika dipuji? Toh, masih banyak kosa kata manis yang tersedia di KBBI untuk digunakan sebagai bentuk kekaguman atas sesuatuÂ
"Cantik banget"
"Keren banget"
"Ya ampun, kamu hebat!"