Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Suhul" dan Radio Tetangga Pembawa Berita

28 Juni 2017   12:53 Diperbarui: 28 Juni 2017   12:57 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.kanalaceh.com

Minggu, 26 Desember 2004, saya ditarik keluar rumah oleh mama saya. Sebelum keluar, saya disuruh menuntun nenek saya untuk keluar rumah bersamaan. Beliau sendiri berlari ke kamar dan menggendong adik saya yang saat itu masih tertidur, lalu menitipkannya pada saya. Tidak menunggu lama, mama saya kembali berlari, kali ini ke sungai tempat seluruh warga untuk mencuci pakaian ataupun peralatan rumah tangga yang kotor, untuk menjemput kakak saya yang kala itu sedang membersihkan pakaian. Benar-benar pemandangan yang menyibukkan juga menegangkan.

Suara dentingan besi dipukul nyaring terdengar, dari kejauhan "suhul" (belakangan saya tahu artinya adalah gempa) diteriakkan berulang-ulang. Bukan hanya kami, keluarga lainpun melakukan hal yang sama. keluar rumah dan saling memandang dengan tatapan bingung namun juga penuh kewaspadaan. Anak-anak hanya sibuk "ada apa, Ma? Ada apa, Pak?"

Menurut nenek saya, pada saat terjadi gempa, kata "suhul" harus teriakkan bersamaan dengan sebuah pukulan pada benda yang terbuat dari besi agar melenting dengan nyaring. Mereka percaya cara ini bisa menenangkan gempa sekuat apapun itu. Mereka percaya cara ini ampuh untuk menenangkan alam yang tengah "marah".

Tak lama berselang, mama saya datang ngos-ngosan. Beliau mengambil adik bungsu saya dan menaikkannya dalam gendongannya. Seolah paham dengan makna tatapan bingung saya yang belum pernah berhadapan dengan hal ini, mama saya berucap "Ini namanya gempa bumi. Lain kali, kalau ada seperti ini segera keluar dari rumah. Jika ada barang yang jatuh atau mungkin rumah roboh, kita terhindar dan tidak kena. Paham ya?" Terangnya.

Hari itu kami dan seluruh warga berpasrah pada takdir Tuhan. Saya mengatakan hal ini karena jika sesuatu yang buruk terjadi, tidak ada yang bisa kami gunakan saat itu untuk menyelamatkan diri. Kami pun bukan tinggal di dataran tinggi yang bisa digunakan untuk berlari menghindari banjir. Kami hanya berpegangan tangan dan dengan raut wajah tegang menanti kejadian apa yang selanjutnya akan terjadi.

Beruntung, desa kami, desa Panombean Toba, hanya terkena goncangan saja. Memang goncangan tersebut sangat terasa sampai beberapa menit lamanya, bahkan sampai bikin pusing. Di samping itu, tidak ada efek lain yang kami rasakan sampai kondisi tenang kembali.


Merasa kondisi sudah aman, kami beramai-ramai ke rumah tetangga. Memutar radio untuk mencari tahu apa yang tengah terjadi di luar sana. Kala itu, belum semua warga yang memiliki televisi. Kami mendengar radio dengan seksama. Sampai akhirnya jawaban dari pertanyaan kami pun muncul. Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter yang masuk kategori tsunami tengah melanda Aceh. Jumlah korban terus bertambah, kondisi buruk terus disampaikan, relawan-relawan berdatangan, bantuan datang tak henti-henti. Sangat mengerikan.

Berbagai saran untuk menghindari bertambahnya korbanpun terus digalakkan. Semua informasi dari radio kami serap dengan baik. Informasi yang diperoleh terus dibagikan dan orang tua diharapkan terus dalam kondisi siaga.

Berbeda cerita, 2016 lalu, dampak dari erupsi gunung merapi ternyata sampai ke desa saya. Abu vulkanik yang terbawa angin menutupi bahkan merusak padi hasil tanaman para petani. Dari kejauhan, saya bolak-balik sampaikan pada orang tua harus pake masker. Harus pakai penutup hidung. Jangan terlalu lama dulu di luar rumah. Jaga kesehatan dan lain-lain. Orang tua saya bahkan sampai bilang ke saya yang orang tua siapa yang anak siapa? Kok jadi anaknya yang bawel? Ini hanya karena kekhawatiran saya pada mereka.

Sumber: www.newsth.com
Sumber: www.newsth.com
Anggapan mereka bahwa abu tersebut hanya hal biasa membuat saya semakin khawatir. Saya harus berupaya untuk memberikan penjelasan bahwa abu tersebut berbahaya bagi kesehatan jika terlalu banyak terhirup. Yang lebih parah lagi, mereka lebih memilih untuk memeriksa perkembangan tanaman padi mereka yang rusak akibat abu vulkanik dibanding menjaga kesehatannya. Kerusakan yang terjadi pada tanaman padi mereka akan berpengaruh pada hasil panen, hasil panen inilah yang menentukan bagaimana kehidupan mereka hingga musim panen yang akan datang. Alasan inilah yang membuat orang tua saya dan seluruh petani lebih memilih untuk menomorduakan kesehatan.

Benar saja bahwa kelompok tradisional menganggap bahwa mitigasi bencana bukanlah prioritas (Referensi dari materi Budaya Sadar Bencana yang disiapkan oleh Kompasiana). Itu sebabnya mereka membutuhkan bimbingan untuk meyakinkan mereka bahwa bencana alam itu akan baik-baik saja jika kita sendiri juga ikut menjaga diri kita untuk terhindar darinya.

Saya sampai harus berdebat dulu dengan orang tua hanya untuk menghalangi mereka pergi memeriksa padinya. Sampai-sampai keluar kalimat “Percuma saya disekolahkan tinggi-tinggi kalau Bapak sama Mamak saja tidak mau dengarin apa yang saya bilang. Ilmu yang saya peroleh dari hasil kerja keras Bapak dan Mamak sama sekali tidak dihargai. Saya masih butuh kalian berdua.” Sampai nangis-nangis. Tidak percuma sih, karena akhirnya kedua orang tua saya membatalkan rencananya untuk memeriksa perkembangan padi di sawahnya.

Peranan Radio Dalam Membangun Budaya Sadar Bencana

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui berbagai media sosialnya, terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan budaya siaga bencana dalam meminimalisir risiko bencana alam. Selain menggunakan media sosial, radio merupakan salah satu media yang digunakan BNPB sebagai wadah sosialisasi siaga bencana kepada masyarakat. BNPB bahkan merilis sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana 2” sebagai bentuk edukasi dan sosialisasi.

Saya pikir kerja sama BNPB dengan radio telah melakukan perannya untuk meningkatkan kesiagaan terhadap bencana kepada seluruh masyarakat yang mendapatkan jaringannya. Sederhana saja, saya sebagai pendengar bisa mendapatkan perkiraan cuaca setiap harinya dari radio. Perkiraan cuaca yang didengar dari radio membantu masyarakat untuk terus siaga dan berjaga-jaga. Membawa payung pada saat perkiraan cuaca akan hujan misalnya. Atau mungkin tidak keluar rumah jika kondisi hujan memang diperkirakan sangat parah.

Keputusan BNPB untuk menggunakan radio sebagai wadah sosialisasi merupakan hal yang sangat tepat untuk dilakukan, mengingat mudahnya masyarakat terkoneksi dengan radio dimanapun berada melalui smartphone yang dimiliki. Semakin banyak sosialisasi yang dilakukan BNPB, semakin tinggi pula keberhasilan BNPB dalam meminimalisir risiko bencana.

Masih jelas dalam ingatan aksi bom yang terjadi di Sarinah Thamrin Januari 2016 lalu. Saat itu saya sedang berada di kantor dan memang kebiasaan saat lagi di ruang kerja adalah memasang radio dengan suara seadanya untuk mendengar update lagu-lagu terbaru dan mengetahui berita-berita di luar seputar berbagai hal.

Sumber foto: tempo.co
Sumber foto: tempo.co
Sampai akhirnya muncul berita adanya bom di Sarinah Thamrin. Saya langsung tanyakan pada teman saya terkait kebenaran berita tersebut karena kebetulan teman saya juga bekerja di salah satu perusahaan di seputaran Thamrin. Benar saja, teman saya mengamini berita itu. Suaranya bahkan terdengar panik. Tak ingin menambah korban, atapun uji nyali, sebulan penuh saya tidak menginjakkan kaki ke daerah Thamrin sampai saya yakin betul kondisi sudah aman kembali.

Perhatikan khalayak yang berkumpul di TKP! Ngapain coba itu? Petugas keamanan sudah ada. Wartawan sudah ada. Lalu untuk apa mereka di sana? Mau jadi wartawan dadakan juga? Kepo? Please deh ya, kepo juga harus pada tempatnya! Kepo kalau buat nambah-nambahin korban untuk apa? Malah makin bikin repot petugaskan? 

Satu lagi, tolong disingkirin pemikiran bahwa TKP merupakan lokasi yang tepat buat teman-teman dan saudara-saudara tercinta sekalian untuk berselfia ria karena beranggapan sangat instagramable dan demi love-love di sosial media. Aduh. Sangat tidak etis! Kalau mau jadi orang yang sangat up to date tentang berita apapun, tidak harus dengan menyodorkan diri ke lokasi yang jelas-jelas membahayakan! 

Jadilah Bagian Dari BNPB dalam Meminimalisir Risiko Bencana!

Tahun 2016 lalu, saya mendapat pelatihan bagaimana api bisa menjadi teman dan bagaimana dia bisa menjadi lawan. Apa yang harus dilakukan jika berada di gedung bertingkat saat berhadapan dengan kobaran api untuk menyelamatkan diri. Hasil pelatihan ini pun saya rangkum dalam bentuk tulisan untuk berbagi dengan teman-teman. 

Baca: Tips Menyelamatkan Diri Dari Kobaran Si Jago Merah

Adalah hal yang baik jika kita sedang berada dalam suatu peristiwa dan tahu tindakan apa yang harus kita lakukan untuk terhindar dari bencana tersebut. Namun, jika kita mengetahui informasi mengenai suatu bencana, baik itu bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial, serta TIDAK TAHU apa yang harus dilakukan jika kita berada dalam bencana tersebut, menghindarlah!

Sebaliknya, akan sangat konyol jika mengetahui suatu bencana, tidak tahu solusi, namun mendatangi TKP. Atau yang lebih parah sengaja tinggal di lokasi TKP. Sekuat apapun usaha BNPB dengan berbagai media sosial dan upaya-upaya lainnya untuk meminimalisir risiko bencana, selama kita selaku warga yang mereka coba untuk lindungi TIDAK MENDUKUNG setiap program yang dilakukan, maka semua upaya tersebut akan sia-sia.

Mari bantu BNPB meminimalisir risiko bencana dengan kepedulian yang dimulai dari diri sendiri!

Bekasi, 28 Juni 2017

Awan Kumulus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun