Mohon tunggu...
Een Nuraeni
Een Nuraeni Mohon Tunggu... Administrasi - pekerja sosial

"Orang yang tidak menulis, tidak punya sejarah"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mainnya Masih Kurang Jauh

23 November 2020   06:45 Diperbarui: 23 November 2020   08:21 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: international-adventure

"Beginilah keadaannya Bu, kampung kami ini pelosok dan jalannya jelek. Mau kemana-mana juga susah, masyarakatnya miskin, puluhan tahun tidak ada perubahan. Mungkin ini kampung paling pelosok dan jelek jalannya yang pernah didatangi ya Bu."

Kira-kira begitulah ucapan sekaligus mengandung keluhan dari salah seorang Bapak di salah satu kampung dalam kesempatan survey lokasi pembangunan Mushola kemarin. Warga menganggap kampung mereka ini paling pelosok dan paling rusak jalannya. 

Memang akses menuju lokasi sangat menantang dengan jalanan licin tanah berbatu tidak ada aspal sedikitpun. Namun,  bagi kami yang sudah beberapa kali ke pedalaman, menganggap "ini belum seberapa". 

Masih banyak yang lebih pelosok dan lebih hancur jalannya, bahkan ada yang harus jalan kaki karena sama sekali tidak memiliki akses jalan menuju pemukiman warga.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Kita tidak akan membahas soal wilayah pelosok dan masalah infrastruktrnya. Namun justru tertarik dengan anggapan atau kebiasaan kita yang "merasa paling....". 

Merasa kampungnya paling tertinggal, merasa jalan ke kampungnya paling jelek, merasa paling pintar, merasa paling bodoh, merasa paling hebat, merasa paling susah hidupnya, merasa paling jelek, merasa paling cantik, merasa paling miskin, merasa paling kaya, merasa paling berpengaruh, merasa paling berat beban hidupnya, merasa paling menderita didunia.

Perasaan "merasa paling..." ini sangat negative. Perasaan ini bisa menyebabkan seseorang tidak bisa menghargai orang lain bahkan merendahkan orang lain  karena merasa paling hebat/kaya/cantik/pintar. 

Atau malah tidak bisa mensyukuri kondisi yang ada karena merasa paling bodoh/miskin/jelek/menderita sehingga menjadi minder (insecure). Akhirnya malah menarik diri dari lingkungan karena tidak bisa melihat sisi baik atau kelebihan lain dalam dirinya. Kalau sudah demikian, maka akan hilang yang namanya rasa syukur.

"Diatas langit, masih ada langit"

Kita sering mendengar istilah tersebut bukan? Selalu ada yang lebih baik, selalu ada yang lebih hebat, selalu ada yang lebih dalam semua hal. 

Disaat seseorang "merasa paling...", sesungguhnya dia mungkin lupa kalau didunia ini "selalu ada yang lebih...". 

Pasti ada yang lebih, hanya saja kita tidak tahu. Hanya saja pengetahuan kita terbatas. Hanya saja wawasan kita masih kurang. Hanya saja teman kita masih kurang banyak. Hanya saja main kita masih kurang jauh, hanya disitu-situ saja.

Seseorang yang mengerti akan itu, tidak akan merasa paling hebat dan sombong akan kepintarannya ataupun kekayaannya. Jika merasa paling kaya se RT mungkin bisa jadi benar, jika merasa paling pintar se RW mungkin bisa saja benar. Namun, jika dibawa ke lingkup yang lebih luas kadang malah tidak ada apa-apanya kekayaan atau kepintaran yang dibanggakan.

Itulah pentingnya mengapa harus berpergian, bersosialiasi atau melibatkan diri dalam interaksi social yang lebih luas. Agar sudut pandang kita tidak sempit dan mata kita lebih terbuka dalam memandang kehidupan ini. "Dunia ini tak selebar daun kelor gess". Hehehe.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Misalnya saat seseorang yang terpelajar  dan tinggal di lingkungan perkotaan, melibatkan diri dalam kegiatan bakti social ke pedalaman. 

Yang awalnya sering mengeluh dengan kemacetan jalanan, tugas kuliah yang menumpuk dan beban hidup yang berat. Maka, ketika 'main jauh' ke pedalaman, secara tidak langsung dia akan tersadarkan tentang banyak hal. 

Dia akan sadar bahwa macetnya jalan bisa disyukuri, karena masih banyak diluar sana yang kemana-mana harus berjalan kaki karena tidak ada akses dan kendaraan. 

Dia akan sadar bahwa tugas kuliah yang menupuk harus disyukuri, karena masih banyak anak-anak diluar sana yang tidak bisa sekolah. Jangankan kuliah, untuk bisa mencicipi bangku sekolah dasar saja harus ditempuh dengan penuh perjuangan dengan kondisi bangunan seadanya. 

Bahkan mungkin dia akan lebih mensyukuri makanannya yang selama ini jarang dia hargai. 

Kita jadi tersadar akan banyak hal, bahwa selama ini kita berpikir terlalu sempit. Apalagi kalau mau mendekat dan berkunjung ke rumah pemulung atau nenek-nenek yang berjualan di pasar. Dengarkan ceritanya, lihat kondisi rumah dan keluarganya. Pasti kita bakal tersadar sesuatu "Masalah gw selama ini kayaknya gak ada apa-apanya ya".  

Bener banget kalau ada yang bilang kalau "apa yang kita keluhkan, kadang adalah yang orang lain inginkan". Maka, mulai sekarang..... kurang kurangilah mengeluh, daripada terus mengeluh mending main yang jauh. Hehehe...

Semoga bermanfaat. Jangan lupa bersyukur dan jangan takut buat main yang lebih jauh lagi ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun