Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Kompasianival Berbagi] Guru Spiritualku Sebagai Saksi Konflik Antaretnis

23 September 2016   23:57 Diperbarui: 24 September 2016   05:25 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang etnis Dayak tengah melakukan ritual dan berdoa agar konflik di daerahnya segera berakhir (Dokpri)

Catatan pengantar:

Tulisan ini terinspirasi dari kasus Aa Gatot Brajamusti yang disebut sebagai guru spiritual. Kebetulan sekali aku, sebagai penulisnya, memiliki guru dengan label spiritual, namun tak dikelilingi wanita cantik, jauh dari hedonisme dan popularitas. Sejatinya label ahli spiritual sangat tidak diinginkan oleh guruku itu.

Judul tulisan yang mengaitkan dengan guru spiritual ini, adalah bagian dari pengalaman penulis selama menjalankan tugas di Kalimatan Barat. Guruku mendorong muridnya mengembangkan sikap kasih sayang antarsesama di tengah konflik antaretnis.

Guruku jauh dari kesan mewah. Ia hidup sederhana, punya murid ribuan orang dan selalu melayani di kediamannya yang sederhana meski itu sudah larut malam. Petuahnya didengarkan dan dipraktekan.

Ia sering mengingatkan dan mengajari muridnya untuk meningkatkan kesalehan sosial. Belajar agama harus secara komprehensif. Kaffah. Hidup bertoleransi harus dikedepankan, khususnya kepada umat lainnya.

Semua itu diarahkan untuk meningkatkan ketaqwan sang murid kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.


Menguji ajian

Seusai shalat subuh di masjid, aku tak cepat pulang ke rumah. Tapi, malahan buru-buru menuju sebuah diskotik, yang lokasinya tak jauh di tengah kota Pontianak. Tujuannya, menanti orang mabuk keluar dari pusat orang begadang. Aku mengambil posisi di kejauhan, sekitar 20 meter dari bangunan diskotik, menanti para pemabuk keluar terhuyung atau berjalan gontai di pagi hari.

Masih mengenakan kain sarung, kududuk di tepi jalan di depan warung rokok. Kulihat ada seorang wanita berpakaian tak senonoh keluar dari pintu diskotik. Mulutnya berceloteh yang tak kumengerti karena menggunakan bahasa Mandarin. Tak berapa lama, menyusul keluar pria hitam berperawakan tinggi besar dan gemuk. Ganteng pula.

Si ganteng ini rupanya baru saja perang mulut dengan wanita yang lebih dulu keluar dari tempatnya begadang. Sambil berjalan cepat dan terhuyung karena pengaruh minuman keras, ia berusaha mengejar sang wanita tadi.

Kupikir, pasti mereka bakal ribut. Dugaanku betul. Si ganteng menjambak rambut si wanita tadi. Tapi, jambakannya tak sempurna. Cepat lepas. Mungkin itu akibat dari pengaruh minuman keras. Ia masih mabuk, rupanya. Dan, sebagai pengamat yang duduk tak jauh dari dua insan berlainan jenis berseteru, dari warung rokok kukerahkan kekuatan diarahkan kepada si ganteng. Maksudnya, untuk melerai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun