Para pemerhati media massa, praktisi pers dan Dewan Pers, sudah lama menaruh perhatian terhadap berita palsu. Sebab, daya rusaknya sudah diketahu. Luar biasa. Ya, seperti yang dialami pasca UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan DPR RI.
Berita palsu diakui telah menjadi kepedulian global. Tidak heran karenanya tim riset Massachusetts Institute of Technology tahun 2018 menyebut bahwa jika dibandingkan dengan yang benar, berita palsu terbukti lebih awet umurnya, lebih jauh dan luas jangkauannya, lebih cepat perjalanannya mencapai publik, serta lebih mendalam efeknya terhadap masyarakat luas.
Studi tim riset Ohio State University membuktikan, aneka berita palsu membentuk pilihan politik sebagian pemilih Amerika Serikat. Ujungnya, mereka membuat pilihan politik berdasarkan berita yang keliru.
Akirnya disimpulkan, penyebaran berita palsu tersebut membantu kemenangan elektoral Donald Trump dalam pemilu presiden di Amerika Serikat pada 2016.
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO memberi perhatian besar terhadap berita palsu. Karenanya, badan ini berinisiatif menerbitkan buku ournalism, 'Fake News' & Disinformation pada 2018, dengan tujuan agar menjadi panduan dalam pendidikan jurnalistik.
Dalam proses penerjemahan dan penerbitan versi Indonesia ini, UNESCO (yang diwakili oleh Advisor for Communication and Information, Ming Kuok-LIM) bekerja sama dengan tim penulis Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (yang terdiri dari Kuskridho Ambardi, Novi Kurnia, Zainuddin Muda Z. Monggilo, Rahayu, dan Engelbertus Wendratama).
Dalam pengembangan versi Indonesia tersebut, tim melakukan kontekstualisasi dengan mendiskusikan sejumlah isu dan contoh kasus di Indonesia sehingga buku ini menjadi relevan di sini.
Sejumlah nama terlibat dalam Lokakarya Penerjemahan dan Penulisan Konteks Indonesia. Mereka adalah Ana Nadhya Abrar, Gilang Desti Parahita, Lisa Lindawati, Muhamad Sulhan (Universitas Gadjah Mada), Yohanes Widodo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Susilastuti (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta).
Selanjutnya, Siantari Rihartono (Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta), Rosy Tri Pagiwati (Universitas Indonesia), Ignatius Haryanto (Universitas Multimedia Nusantara), Abdul Manan (Aliansi Jurnalis Independen Indonesia), Bambang Muryanto (Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta), Mardiyah Chamim (Tempo Institute), Giri Lumakto (MAFINDO), Indriyatno Banyumurti (SiBerkreasi), dan Frendy Kurniawan (Tirto). Mereka semua memberikan sumbangan terhadap banyak poin yang disampaikan dalam bab-bab kontekstualisasi Indonesia.
**
Nah, kembali kepada nasihat Suhu Parni, berita palsu dan prasangka sejak dulu hingga kini selalu saja menjadi sumber malapetaka. Tegasnya, sudah terjadi sejak jaman purba.