Sayang, hal itu tak terwujud lantaran panitia Olimpiade menolak. Alasannya, Indonesia belum menjadi anggota PBB. Indonesia hadir hanya sebagai peninjau. Indonesia mengutus Sultan Hamengkubuwono IX, Letkol Azis Saleh, dan Mayor Maladi (Menpora pertama). Sayang, mereka urung pergi lantaran mereka harus menggunakan paspor Belanda.
Di tingkat regional, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Lanka dan Burma memprakarsai terbentuknya Komite Olahraga Asia (Asian Games). Saelan ikut tampil dalam perheltan akbar pertama di New Delhi pada 1951.
Kala itu, Indonesia menyanggupi menjadi tuan rumah Asian Games keempat pada 1962 di Jakarta. Karena itulah Indonesia mempersiapkan diri dengan membangun  Bung Karno. GPK dibangun dengan dukungan arsitektur Uni Soviet.
***
Lantas, bagaimana Om Maulwi Saelan dapat 'nyasar' menjadi tentara?
Bisa jadi lantaran orangtuanya, Amin Saelan, adalah seorang pejuang. Berawal sebelum kedatangan sekutu, di Makassar telah terbentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia yang diketuai Manai Sophiaan dengan panasihat orangtua Maulwi Saelan.
Saat Manai Sophiaan ditangkap (28/10-1945) dan menahannya di Empress Hotel, para pemuda, termasuk Maulwi, menyerbu hotel tersebut dan Manai pun berhasil dibebaskan. Kala tentara belanda dilucuti, datang bantuan tentara Australia. Para pemuda ditangkapi, ya termasuk Saelan juga. Para pemuda baru dapat dibebaskan atas upaya gubernur Ratulangi pada 1 Januari 1982.
Kala Westerling melancarkan serangan terhadap laskar pejuang. Diputuskan sebagian berada di Sulewsi dan sebagian mengawal kepala staf Divisi Hasanudin. Mayor Saleh Lahade bertolak ke Pulau Karumunjawa dan dari situ ke Tegal, Jawa Tengah. Maulwi Saelan ikut bergerilya ke Sidobundar, Gombong, Jawa Tengah dan kemudian ke Gunung Kawi Selatan, Jawa Timur.
Pada 1958, Maulwi Saelan menjadi wakil komandan Batalyon VII/CPM Makassar. Kala itu ia dipercaya atas pengamanan Presiden Soekarno yang datang ke Sulawesi Selatan dari Manado. Nyatanya, Bung Karno sudah mengenalnya lantaran Maulwi Saelan pernah menjadi kiper PSSI di Olimpiade Melbourne (1956).
Setelah upaya pembunuhan Bung Karno pada Idul Adha (1962) dan percobaan pembunuhan sebelumnya, pemerintah memutuskan membentuk Resimen Tjakrabirawa untuk mengawal presiden. Maulwi dipanggil dari Makassar dan diangkat sebagai kepala staf dan kemudian menjadi wakil komandan.
Pada Maret 1966, para anggota Tjakrabirawa dikembalikan ke induk pasukan masing-masing, sedangkan tugas pengamanan Presiden diserahkan kepada Polisi Militer. Diakui, pada peristiwa G 30/S PKI memang ada pasukan Tjakrabirawa terlibat, tetapi menurut Maulwi Saelan, tidak lebih dari satu kompi dari keseluruhan empat batalyon dan satu datasemen (sekitar 4.000 orang).