Tak banyak wartawan olahraga yang tergabung dalam Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) PWI Jaya untuk mewawancari Maulwi ketika itu. Apa lagi menjadikannya sebagai narasumber berita tatkala kualitas sepakbola nasional melorot.
Belakangan penulis baru tahu alasannya. Maulwi Saelan adalah mantan pengawal Presiden Soekarno yang tergabung dalam Resimen Tjakrabirawa. Tentu, bisa dipahami, kala Orde Baru ada rasa ngeri untuk mewawancari orang-orang yang punya latarbelakang punya kedekatan dengan Bapak Proklamasi.
Namun lantaran Kardono, Ketua Umum PSSI, kala itu sering memintai pendapat dan saran kepada Maulwi berkaitan dengan pembinaan pemain sepakbola, dalam diri penulis tumbuh keyakinan bahwa mewawancari Maulwi Saelan bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam dunia jurnalistik. Meski disadari saat itu bahwa media masih dibawah kontrol penguasa, yang sedikit-sedikit diancam untuk dibredel.
Om Maulwi Saelan punya kepribadian terbuka. Penulis pun pernah mendatangi kediamannya di kawasan Bendungan Hilir. Penulis diterima dengan baik. Dan bicara panjang lebar. Dan, kala ia hadir di depan kantor PSSI, ia sering ngobrol dengan para pemain senior dan awak media yang tergabung dalam Siwo PWI.
Penulis pun berkenalan dengan Menteri Olahraga Pertama, Muladi. Kala itu, Saelan minta kepada penulis untuk mengecek disain bangunan gelanggang olahraga yang kemudian dikenal GBK. Arsip gambar bangunan GPK masih lengkap dipegang Maladi saat itu.
Diperoleh penjelasan bahwa biaya pembangunan GPK pada 1962, yang didukung arsitektur dari Soviet, sebesar 10,5 juta dolar AS. Â Semua dibayar dengan karet alam Indonesia dan dalam tempo dua tahun lunas.
**
Maulwi Saelan lahir di Makassar, 8 Agustus 1926. Sudah tentu ia mengalami pahitnya zaman kolonial Belanda. Ia memilih jalur olahraga sebagai perjuangannya hingga pada usia 30 tahun dipercaya menjadi penjaga gawang PSSI.
Tim Indonesia yang lolos seleksi Asia bertanding langsung menghadapi Uni Soviet. Hingga perpanjangan 2 x 15 menit, Saelan berhasil menjaga gawang dari kebobolan. Nah, lantaran kala itu tak ada aturan adu pinalti, akhirnya pertandingan diulang 36 jam kemudian. Dalam pertandingan ulang ini, kita harus mengakui keunggulan lawan lantaran para pemain mengalami cedera pada pertandingan sebelumnya.
Om Saelan pernah tampil dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo (9/9-1948) yang kala itu diikuti 13 kresidenan sepulau Jawa. Perhelatan digelar di Stadion Sriwedari dan dibuka Presiden Soekarno. Saelan sendiri mewakili atlet dari luar Jawa yang dimasukkan ke dalam kontingen Jakarta.
Menariknya, sebelum PON berlangsung, pada Januari 1947 digelar kongres pertama di Solo. Kongres diwarnai semangat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Lalu diputuskan bahwa Indonesia harus menembus blokade Belanda dan ikut Olimpiade 1948 di London.