Dogol punya keinginan menyampaikan protes kepada pak lurah terdekat. Namun niat itu dibatalkan lantaran ia tak cukup nyali untuk menyampaikannya terkait dengan ditiadakannya shalat Jumat di berbagai masjid.
Akhirnya, hanya berani menyampaikan keinginannya itu kepada penulis seusai shalat Subuh tadi. Katanya, di masjid atas, berani melaksanakan shalat Jumat. Dasarnya, karena anggota jemaah sudah melebihi 40 orang.
"Itu sudah sesuai dengan rukun shalat Jumat," ia memberi alasan.
Awalnya, mereka itu datang memang bermaksud menunaikan shalat Zuhur berjamaah. Tapi, lantaran kondisinya memungkinkan, akhirnya dilaksanakan shalat Jumat.
"Lagi pula, pak lurah sudah tidak berada di tempat lagi. Ia tak mengawasi kita," ujar Dogol.
Ia melanjutkan ceritanya. Saat orang banyak di sejumlah lingkungan warga tengah bersiap-siap hendak menunaikan ibadah Jumat, pak lurah sudah berada di parkiran masjid. Pak lurah memantau langsung apakah perintahnya tentang larangan menggelar shalat Jumat dilaksanakan.
Pak lurah memang tak bisa berlama-lama di satu tempat. Ia harus bergeser ke masjid lain. Ya, melakukan pemantauan serupa secara langsung. Sayangnya, ketika melakukan pekerjaannya itu, sang lurah tak pernah turun dari mobilnya. Ia tak menjumpai warga. Apa lagi untuk bercakap-cakap.
Bagusnya, ya turunlah dari mobil. Jangan nangkring begitu. Jumpai warga yang tengah prihatin terkait makin meningkatnya angka jumlah warga terpapar virus Corona (Covid-19) yang terus meningkat.
Sayangnya lagi, pak lurah tak pernah mengimbau warga secara langsung untuk mematuhi perintah gubernur agar mengenakan masker dan larangan shalat Jumat.
"Pak lurahnya tak mau bicara. Bibirnya lagi sariawan, kaleeee?" ujar Dogol dengan rasa dongkol.
Namun Dogol maklum. Pak lurah itu adalah orang birokrat. Kerja banyak di belakang meja. Ketika menghadapi persoalan dengan warga, terkait dengan Covid-19, ia harus pandai berkelit agar terlepas dari lilitan yang menjeratnya. Ujungnya, jangan sampai jabatan hilang. Hehehehe....