Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pak Fachrul Razi, Tolong Perhatikan Perkawinan WNI di Luar Negeri

28 November 2019   17:42 Diperbarui: 29 November 2019   16:00 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO

Mumpung masih ingat dan masih hangat, tak salah dong menitip pesan kepada Menteri Agama yang baru duduk di Kabinet Indonesia Maju, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi, untuk membenahi pernikahan bagi penganut agama-agama bagi warga Indonesia di luar negeri.

Kalau pada awal kabinet Indonesia Maju bergaung dari Menteri Kordinator Pemberdayaan Manusia Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy tentang sertifkasi pranikah, maka konsekuensinya juga warga di luar negeri punya hak yang sama untuk diatur.

Selama ini, bukankah Kementerian Agama sudah punya program kursus calon pengantin (Suscatin) yang mirip-mirip dengan program yang diangkat Menko PMK itu?

Sudah, sih. Tapi, dalam perjalanannya melempem. Alasannya, dana seret. Tetapnya, dana cekak.

Kemudian apa yang diinginkan dari warga yang bermukim di luar negeri tentang kawin-mawin itu?

Ya, perlu diatur sama halnya seperti warga di Tanah Air. Dan, penulis yakin Fachrul sangat paham tentang kesulitan warga Indonesia ketika tengah "kebelet" hendak menikah. Ketiadaan penghulu, petugas pencatat dan menyakut perizinan untuk acara resepsi pernikahan, misalnya.

Nah, lebih menariknya lagi sekarang ada keharusan perlunya nikah untuk menunjukan sertifikat bimbingan nikah. Apakah ini sudah dipikirkan jajaran Kementerian Agama?

Penulis sih berpikiran positif. Sebab, Fachrul tahu persis sebagai tentara yang pernah bertugas di luar negeri. Terutama di kawasan Timur Tengah. Di situ banyak warga Indonesia melakukan pernikahan tanpa didukung dokumen.

Pasalnya, ya tadi. Ketiadaan dukungan negara untuk mendokumentasikan sebuah pernikahan. Itu terjadi bukan hanya di kalangan umat Muslim seperti di Saudi Arabia, Hongkong, Malaysia dan di sejumlah negara lainnya.

Belum lagi pernikahan antarwarga negara di Arab Saudi. Ironisnya jika perkawinan itu terjadi bagi warga yang tingkat ekonominya pas-pasan. Hal itu sering terjadi di kalangan tenaga kerja Indonesia yang terlantar.

Mereka itu bermukim di kolong jembatan demikian lama. Mereka tinggal di situ -- bukan hanya WNI juga dari negara lain - dengan harapan ditangkap otoritas pemerintah setempat untuk secepatnya di kembalikan ke Tanah Air secara gratisan. Pulang gratis dengan cara deportasi.

**

Kita pun sering membaca berita para ustaz atau dai ditolak masuk ke negera tujuan ketika diundang untuk berceramah. Mereka dicuriga, tapi tak jelas kecurigaannya.

Sebut saja Ustaz Riza Muhammad belum lama ini tertahan di imigrasi Bandara Hong Kong kala hendak mengisi ceramah di negara tersebut.  

Sebelumnya juga pernah terjadi pada diri Ustaz Abdul Somad ditolak masuk Hong Kong oleh otoritas setempat. Tentu saja ustaz yang tengah naik daun itu tak kuasa membendung kekecewaannya. Pasalnya, ia batal berdakwah untuk Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong.

Boleh jadi hal serupa juga menimpa para pemuka agama lainnya. Atau terkait pernikahan bagi pemeluk agama Kristen, Hindu dan Buddha di luar negeri. Mereka tak terlayani sebagaimana mestinya. Jangankan nikah sesuai prosedur seperti di Tanah Air, bisa jadi pula bimbingan pranikah nihil.

Semua orang pun tahu bahwa urusan agama itu tak melulu menyangkut kawin-mawin, tak melulu menyangkut kelahiran dan kematian. Tidak sebatas itu saja. Urusan keagamaan mulai dirasakan sejak manusia lahir hingga tempat pemakaman.

Meski sudah wafat, mustahil bin mustahal untuk pemakamannya dilakukan di tempat sembarangan. Walau anggota punya hak mengaturnya, tapi tak masuk akal jika mereka memaksakan makan ditempatkan di ruang tamu.

Atau, makam orang Kristen atau Yahudi ditempatkan di pemakaman Muslim. Ya, tak mungkin, karena kita masih menghormati arwah manusia yang wafat sesuai dengan keyakinan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Tegasnya, siapa pun tentu sepakat,  bahwa pemerintah perlu hadir mengatur semua itu.

**

Negara memang tak boleh terus menerus mengabaikan kepentingan warganya terkait urusan pernikahan, pelayanan keagamaan dan kependudukan. Karena itu dibutuhkan perlindungan.

Karena itu, kita perlu membuat atase agama di luar negeri. Utamanya yang banyak bermikim warga negara Indonesia.

Dulu, memang pernah ada gagasan dibuatnya RUU Perlindungan Umat Beragama. Tapi, entang mengapa gagasan itu kini ditelan bumi alias senyap. Padahal dalam RUU itu termasuk juga perlunya dibentuk atase agama.

Kini, kita pun menjadi kesulitan untuk mendapatkan data. Berapa umat Muslim di tiap negara? Ya, jawabnya kembali lagi kepada angka nihil. Kita pun sering mendapati Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang nikah - apakah dengan sesama TKI atau pun dengan warga asing - negara tidak mencatatnya. Pernikahan mereka tidak diregistrasi oleh pemerintah.

Pemerintah Malaysia, Saudi Arabia dan negara lainnya yang banyak menerima TKI sampai saat ini tidak mendapat pelayanan dari negara sebagaimana mestinya. Itu tidak saja untuk yang menganut agama Islam, untuk beragama lain jawabannya pun sama.

Jika negara lain warganya hilang, di negara bersangkutan sudah demikian heboh. Pemerintahnya mencari ke berbagai kota. Tapi, di kita, tidak demikian.

Dan ini jika kita renungkan, sejatinya sudah mengabaikan konstitusi sendiri. Karena itu, kehadiran atase agama sudah dirasakan mendesak untuk dihadirkan.  

Salam berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun