Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Bagian 6] Belajar Mistik, Makrifat, hingga Tangkap Hantu

15 September 2019   06:32 Diperbarui: 15 September 2019   06:46 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, sejumlah keris dalam lemari. Foto | meindisain.wodlpress.com

Mahluk  "Panggilan" dan "Penunggu" Keris

Ketika pejaman mata terbuka, gambaran peristiwa yang baru terjadi itu seperti sulit diterima akal.

Lantas, bibir penulis digigit. Pantat dicubit. Eh, terasa sakit ya? Lalu, beberapa saat, penulis bengong di atas batu di tengah aliran sungai kecil.

Mahluk penguasa Gunung Sanggabuana sulit digambarkan bentuknya. Jika disebut Naga, ya tak sama persis. Jika disebut berwajah seperti Iguana, juga tak sama. Apa lagi ia mengenakan mahkota.

KisahHoror pada peristiwa dialog dengan penguasa Gunung Sanggabuana itu hingga kini sulit dilupakan.

Dan, dari kejadian itu, merupakan pembelajaran berharga. Senyatanya, diri kita  kecil, tidak ada apa-apanya. Meski begitu, Allah menempatkan manusia sebagai satu-satunya mahluk yang dimuliakan.

Ya, karena dimuliakan, manusia ditetapkan-Nya sebagai khalifah di permukaan bumi.

Beranjak dari peristiwa itu, ke depan, langkah penulis semakin berhati-hati. Kata dan perbuatan diupayakan harus selaras. Jauh dari perbuatan menclak-menclek. Kejujuran tak lagi sebagai penghias bibir, tetapi dipraktekan senyatanya.

Luar biasa. Kala berhadapan dengan lawan bicara berbohong, hati cepat sekali memberi petunjuk agar segera menjauh agar diri tidak terperangkap tipu muslihatnya.

Ketika seseorang memakai benda-benda berisi untuk menambah kewibawaan, kecantikan, diri ini cepat mendapat informasi. Bisikan hati muncul seketika. Informasi yang datang dari hati ini sungguh tepat.

Jangan cepat untuk disangkal dengan menggunakan otak atau dipatahkan dengan pendekatan logika.

Berbagai peristiwa dialami. Ketika menginap di kediaman seorang famili, penulis bisa mengetahui benda-benda apa yang ditanam di bawah pintu.

Ini realitas. Bukan cerita mengada-ada. Seusai shalat magrib di rumah seorang famili, terbayang di hadapan penulis mahluk ular melintas.  Zikir pun ditingkatkan. Terdengar suara daun pintu diulang dibanting. Sekali perlahan. Lambat laun suara bantingan pintu makin keras.

Terdengar suara anggota keluarga ribut. Saling bertanya, siapa apa gerangan?

Zikir dihentikan. Penulis tanya langsung kepada pemilik rumah. Benda apa yang ditanam di pintu pagar. Pokoknya, segera dicabut dan dibuang. Tuan rumah, mendapat informasi seperti itu, terkejut.

Setelah didesak, si tuan rumah mengaku, ia tanam berupa mangkok dan seisinya - yang tak disebut - dengan tujuan sebagai penjaga rumah.

"Rumah ini sering kemalingan, Ed?" katanya.

Pengalaman lain ketika penulis diam-diam ditest oleh seorang rekan. Caranya, ia mengajak berkunjung ke kediamanannya. Seusai shalat magrib, tuan rumah minta penulis duduk di ruang tengah.

Di situ, ia memperlihatkan sejumlah keris dalam kotak kaca yang dipajang di dinding. Jumlahnya mungkin sekitar 10 buah. Keris-keris itu, katanya, diperoleh dari berbagai daerah.

Kepada penulis, ia minta ditunjukan keris mana yang berasal dari Padang, Palembang, Makassar dan beberapa keris lainnya dari tanah Jawa.

Sungguh penulis mengaku tak tahu. Si tuan rumah mendesak. Tapi, setelah penulis dipandangi satu per satu, di hadapan penulis terbayang gambaran manusia asal daerah masing-masing. Jika keris itu berasal dari Makassar, terbayang tampilan wajah orang mengenakan pakaian adat Makassar.

Demikian seterusnya pada keris-keris berikutnya.

Lalu, rekan saya itu cuma bisa tersenyum. "Tepat," katanya.

Kini, penulis semakin berhati-hati. Kala mendapati mahluk asing, diri harus dikendalikan. Tak perlu memberi reaksi berlebihan.

Juga membaca maksud orang ketika meminta pertolongan harus disikapi bijaksana. Bisa jadi, ujungnya ingin mengetest kemampuan. Padahal kemampuan yang hadir di diri ini adalah miliki Allah, Tuhan milik alam semata.

Pelajaran makrifat memang sarat pesan moral. Ia menuntun penulis mengenali diri sendiri, apa dan siapa kita ini. Petunjuk ke arah itu makin terang ketika penulis berzikir di Masjidil Haram, Mekkah, beberapa tahun silam.

Di atas karpet masjid yang luas, penulis menyaksikan dan melihat diri sendiri tengah asyik menikmati butiran-butiran mutiara kandungan buah zikir. Indah nian karunia-Mu ini.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun