Â
Menjadi hak bagi setiap orang menyatakan diri sebagai presiden usai pertarungan pemilihan presiden atau Pilpres 2019.
Sambil menanti keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merampungkan penghitungan suara yang masuk, sungguh tidak ada yang dilanggar dari sisi konstitusional bahwa Prabowo menyatakan diri sebagai pemenang lantas mendeklarasikan diri sebagai presiden.
Capres 02 Prabowo Subianto mengklaim memenangkan Pilpres 2019. Kemenangan itu diyakini karena hasil perhitungan (real count) tim internalnya. Kalimat seperti ini terus berulang dan menggema di berbagai media massa dan media sosial.
Atas dasar perhitungan internal kubu 02, sejatinya tak ada yang dilanggar secara konstitusional. Soal hasilnya nanti, dan kemudian KPU mengumumkan keputusan lain, untuk sementara bolehlah dikesampingkan dulu. Bukankah KPU, sebagai institusi yang dibentuk atas persetujuan legislatif itu, dalam melakukan perhitungan secara nyata (real count) butuh waktu.
Satu bulan adalah masa tunggu cukup lama, bukan?
Nih, lihat komentar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD terkait pernyataan Prabowo Subianto, pasangan calon presiden 02, yang mengklaim menang atas kubu 01, Joko Widodo -- KH Ma'ruf Amin.  Menurut Mahfur MD, sah-sah saja seseorang mendeklarasikan diri sebagai presiden berdasarkan hasil hitungan sendiri. Terpeting ia  jangan sampai melakukan aktivitas kepresidenan.
Tentang tidak melakukan aktivitas kepresidenan, Prabowo sejatinya sadar. Sebab, Â ia harus menunggu keputusan resmi dari KPU. Yang jadi soal, kok hanya menyatakan sebagai presiden belakangan ini Prabowo diolog-olog.
Ini soal demokrasi?
Tidak mengakui hasil perhitungan cepat (quick count) sebagaimana dinyatakan Presiden Prabowo adalah bagian dari haknya. Para penyelenggara survei pun boleh mengeluarkan pernyataan yang sama kerasnya. Tidak ada larangan. Bukankah negeri ini menjunjung demokrasi?
Jika Preseden Prabowo mengatakan bahwa para peneyelenggara quick count telah berbohong, itu juga sah-sah saja. Jika Presiden Prabowo mempertanyakan kredibilitas lembaga survei, juga tak menjadi soal dari aspek hukum. Menganjurkan penyelenggara survei pindah ke Antartika, pun tidak ada yang melanggar konstitusi.
Jika kita boleh meminjam kata dari Gus Dur: "Gitu aja kok repot."
Para penyelenggara survei boleh meradang, marah dan melontarkan caci maki karena kerja kerasnya tak lagi dihargai sebagaimana mestinya. Di negeri ini, boleh saja mereka membalas. Â
Ingat. Di zaman mertua Presiden Prabowo berkuasa, tepatnya di zaman Orde Baru, tak ada orang berani menyatakan terang-terangan di hadapan publik ingin menjadi presiden. Ketika mantan Menteri Perumahan Siswono Yudo Husodo menyatakan diri bakal mencalonkan diri sebagai presiden, pers sangat hati-hati memberitakannya. Takut penerbitan mereka dibredel oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Ketika Presiden Soeharto menghadiri hari anak, di atas pentas, Â ia bertanya kepada anak-anak.
"Siapa yang ingin jadi presiden," tanya Soeharto kepada anak-anak.
"Saya!" jawab anak-anak serentak sambil mengacungkan jari dan menyatakan diri siap jadi presiden.
Jawaban anak-anak ingin jadi presiden, oleh awak media, kemudian menjadi berita utama. Pertimbangannya, hanya anak-anak yang berani menyatakan jadi presiden saat itu. Bukan dari kalangan pejabat, politisi, apa lagi rakyat biasa.
Nah, sekarang, di negeri demokrasi seperti Indonesia, anak-anak hingga orang tua sekalipun jika ingin menyatakan diri sebagai presiden tidak ada yang melarang. Mau main mobil-mobilan, main layang-layangan, Â main penganten-pengantenan atau main kuda-kudaan pun tidak dilarang. Apa lagi main presiden-presidenan.
Karenanya, jangan olok-olok Presiden Prabowo.