Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Referendum Eks Napi Koruptor Boleh-Tidaknya Ikut Bacaleg, Mungkinkah?

10 September 2018   09:17 Diperbarui: 10 September 2018   15:23 1791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, koruptor ditangkap. Foto | AntaraNews.com

Menggelar referendum bagi eks napi koruptor untuk ikut serta atau dilarang sebagai bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) rasanya mustahil bin mustahal dapat dilakukan, namun patut dipertimbangkan mengingat persoalannya demikian menyelimet.

Referendum dalam terminologi politik dimaknai sebagai suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang memengaruhi suatu negara secara keseluruhan, misalnya seperti adopsi atau amendemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara.

Nah, bagaimana jika referendum itu digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyelimet. Disebut nyelimet karena ke depan potensi pelaksanaan proses Bacaleg semakin tidak menentu. Bertele-tele. Telah dibumbui suara minor berseliweran, dan pemerintah dituduh tidak tegas dan jauh dari semangat pelaksanaan pemilu yang bersih. Jika boleh meminjam istilah mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, sekarang prosesnya telah menjadi kacau.

Meski begitu, ini yang kita syukuri, publik terus mengawal. Debat publik di layar kaca pun tak kalah seru. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) disebut-sebut ikut campur dalam menafsirkan larangan eks napi koruptor menjadi caleg. Padahal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, menyebut mantan napi korupsi dilarang menjadi caleg.

Bawaslu tak mengindahkannya. Bawaslu berlindung dengan memakai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang tak melarang eks napi koruptor ikut dalam pemilu legislatif.

Wuih, seru jadinya komentar-komentar di negeri ini. Menurut penulis, di situ akar masalahnya. Hingga kini belum juga ada titik temu. Dan, di seberang sana, para koruptor diam-diam mengintip. Mencari siasat dan peluang. 

Beginilah jika hukum dan politik tengah diangkat sebagai tontonan. Instrumennya pun mulai dimainkan di belakang layar. Bolehlah menduga, kala hal ini berjalan, pengusaha hitam tengah berhitung.

**

Dulu, ketika ramai-ramainya terpidana koruptor diberi remisi, pemerintah juga mendapat kritik keras karena koruptor dinilai senyatanya telah melukai rasa keadilan masyarakat. Betul remisi telah menjadi hak setiap narapidana, termasuk narapidana korupsi. Namun, seyogyanya pemberiannya tidak diobral.

Para penggiat anti-korupsi minta agar pemberian remisi kepada eks napi koruptor dapat diberikan secara selektif dengan standar akuntabilitas tinggi. Direktur Setara Institute Hendardi menyebut hak warga telah dirampas koruptor. Jadi, wajar jika hak koruptor dicabut karena daya rusak korupsi sangat tinggi.

Sungguh, korupsi adalah kejahatan berat seperti terorisme karena merampas hak-hak ekonomi dan hak kemanusiaan jutaan manusia yang terdampak kejahatan itu.

Kritik yang diarahkan kepada pemerintah itu berawal dari rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

PP tersebut mengatur soal narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme, yang bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi justice collaborator atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Yasonna menyebut aturan itu diskriminatif sehingga perlu direvisi.

Mengutip pernyataan Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert, sejatinya korupsi di Indonesia tak hanya merusak keuangan negara, tetapi juga menghancurkan pranata publik yang utama. Tegasnya, koruptor tidak bisa dipandang sebagai narapidana biasa.

**

Karena eks napi koruptor tidak bisa dipandang sebagai narapidana biasa, maka sudah sepatutnya bagi koruptor dari kalangan penyelenggara negara pantas dicabut hak politiknya. Mengenai hal ini, pengadilan sudah melakukan kepada pelaku korupsi. Tak perlu disebut nama-namanya, apakah ia berasal dari partai politik dan lainnya.

Lantas, bagaimana dengan nasib Bacaleg yang dinyatakan lolos oleh Bawaslu?

Hingga kini masih "tarik-menarik". Ada saran, sebaiknya KPU mengabaikan keputusan Bawaslu. Alasannya, Bawaslu seharusnya mengikuti aturan PKPU Nomor 20/2018 karena bukan kewenangan Bawaslu untuk menafsirkan PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu atau tidak.

Yang berhak membatalkan putuskan KPU itu hanya MA, bukan Bawaslu. Namun dalam perkembangannya tidak semudah itu. Tiga lembaga penyelenggara pemilu, yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersama KPU dan Bawaslu dalam suatu pertemuan sepakat mendorong MA untuk segera memutus uji materi (judicial review) Peraturan KPU (PKPU) yang di dalamnya memuat larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg.

Meski didorong-dorong, jika MA bersikeras tak bisa menyelesaikan, maka proses tahapan pemilu tersendat. Pasalnya, MA menunda sementara uji materi terhadap PKPU lantaran Undang-Undang Pemilu yang menjadi acuan PKPU juga tengah diuji materi di MK.

Seyogyanya hal ini tidak terjadi bilamana partai-partai politik sudah mengindahkan pakta integritas, ikut menampilkan sosok kader partai yang bersih dari korupsi. Partai politik wajib mematuhi janji kepada diri sendiri tentang komitmen melaksanakan seluruh tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang dan peran sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Nyatanya, hal itu masih menjadi hiasan bibir. Nah, agar lebih cepat dan efisien perhelatan pemilu dapat berlangsung, bagaimana digelar referendum. Boleh atau tidak eks napi korupsi jadi Bacaleg. Tujuannya agar pelaksanaan pemilu jauh dari "bumbu" yang bertele-tela.

Sumber bacaan satu, dua dan tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun