Dari kejauhan, sambil menyedot air kelapa muda di tengah hari, penulis menikmati pemandangan masjid megah itu. Muncul perasaan, hidup makin terasa lengkap. Apa lagi di sisi kiri ikut menemani 'kasir berjalan' alias isteri tercinta. Isteri tidak boleh menjauh karena bakal melarikan diri untuk berbelanja.
Dari kejauahan, penulis saksikan anak-anak berlarian di kolam air mancur. Di tempat itu juga banyak santri kecil dan para ibu wara-wiri mengambil wudhu lantas melakukan shalat. Ada di antara pengunjung dari warga luar kota melaksanakan shalat berjamaah.
Sambil berajalan keliling, kuhitung kubah masjid gaya arsitek Kesultanan Aceh itu. Kuduga ada lima. Eh tak tahunya dari berbagai literatur disebut bahwa masjid itu punya kubah tujuh dan lima menara.
Tak apa lah. Yang jelas masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam pada 1022 H/1612 M sangat indah. Kata orang banyak, keindahannya  mirip dengan Taj Mahal yang kondang di India itu. Masjid ini mudah dikunjungi lantaran berada di jantung Kota Banda Aceh.
Lantaran masjid ini memiliki nilai sejarah tinggi, maka penulis pun tak membuang kesempatan. Mengambil foto sebanyak mungkin, kadang swafoto di dalam dan luar masjid itu. Sayangnya, kunjungan itu bukan pada bulan Ramadan. Tentu, jika pada bulan ini maka laporannya terasa aktual, hehehe.
Tentu banyak orang tua masih ingat kala tsunami menghancurkan Tanah Rencong Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Masjid Raya Baiturrahman masih tetap kokoh.
Dalam tayangan televise, terlihat banyak orang berdiri di tembok masjid sambil menyaksikan ombak tsunami menghantam wilayah itu. Syukur, Â rumah Allah ini tetap dijaga-Nya. Masjid Raya Baiturrahman telah menjadi saksi bisu sebagai tempat bagi rakyat Aceh berlindung sekaligus tempat evakuasi jenazah para korban tsunami.
Membicarakan masjid ini tentu tak lepas dari historisnya yang heroik di bumi Rencong itu. Om Wikipedia menyebut saat Kerajaan Belanda menyerang Kesultanan Aceh - pada agresi tentara Belanda kedua - di Bulan Shafar 1290 Hijriah/10 April 1873 Masehi, Masjid Raya Baiturrahman dibakar.
Lantas, ceritanya, pada tahun 1877 Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Pada saat itu Kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang merupakan Sultan Aceh yang terakhir.
Dulu, kata para pedagang di sekitar masjid, rumah ibadah itu juga difungsikan sebagai markas perang dan benteng pertahanan rakyat Aceh. Memang betul dan sejarah pun mencatat bahwa pahlawan-pahlawan nasional Aceh seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien ambil bagian dalam mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman.
Masjid Raya Baiturrahman terbakar habis pada agresi tentara Belanda kedua pada tanggal 10 April bulan Shafar 1290H/April 1873 M yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Rakyat Aceh marah besar.
Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman diperluas. Gubernur Dr. Ibrahim Hasan memberi dukungan dana, Perbaikan dilakukan meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri.
Bagian masjid yang diperluas, meliputi bagian lantai masjid tempat shalat, perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan tempat wudu.
Sedangkan perluasan halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret. Sehingga luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 m2 berlantai marmer buatan Italia, jenis secara dengan ukuran 60 120 cm dan dapat menampug 9.000 jamaah.
Masjid tersebut kini memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk. Dari masa ke masa masjid ini telah berkembang pesat baik ditinjau dari segi arsitektur maupun kegiatan kemasyarakatan.
Jadi, masjid ini memang sarat dengan sejarah. Karenanya, bila orang bicara tentang Aceh tak sempurna bila yang bersangkutan belum pernah bertandang ke masjid megah itu.
Catatan: sumber bacaan: satu, dua dan hasil wawancara lapangan.