Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nikah Usia Dini Itu Membangun Rumah Tangga dengan Pondasi Rapuh

10 Mei 2018   20:10 Diperbarui: 11 Mei 2018   08:59 2813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrai pernikahan dini, foto | youtube.com/early-age marriage

Perceraian merupakan pintu masalah mental dan sosial bagi anak-anak, keluarga besar, bahkan lingkungan sosial terdekat. Sayangnya, upaya memelihara, merawat dan menjaga kelestarian sebuah pernikahan sepertinya bagai menegakan benang basah. 

Penikah di usia dini, yang belakangan ini ramai diberitakan, adalah salah satu pintu masuk masalah sosial. Pernikahan dini ikut memberi kontribusi atas terjadinya perceraian. Menikah tanpa pemahaman akan maksud dari nikah itu sendiri, apa lagi pelakunya belum dewasa, pondasinya sangat lemah. Rapuh.

Kalau pun dalam catatan ada di antara manusia yang melakukan pernikahan usia dini lantas rumah tangganya langgeng, sangat mungkin mereka itu lebih banyak diwarnai badai, gonjang ganjing dan benturan bagai orang makan antara garpu dan sendok selalu saling berbentur keras kala mereka makan di atas sebuah piring.

Gambaran adanya permohonan dispensasi dari orang tua ke pegadilan agama untuk menikah bagi anak di usia dini makin mencemaskan. Hal itu juga merupakan cermin bahwa perkawinan di bawah usia belakangan makin diminati. Gambarannya bagai 'gunung es'. Artinya, yang mengajukan dispensasi ke pengadilan untuk nikah di bawah usia jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi di luar itu justru lebih banyak lagi.

Setidaknya, hal ini banyak terjadi di wilayah pedesaan. Kawin siri melibatkan anak usia dini seolah dibiarkan terjadi. Sudah banyak peneliti menjumpai anak di bawah usia dini menikah lebih banyak dilatarbelakangi karena kemiskinan, orang terhimpit hutang. Atau karena pembenaran dan dorongan pemuka agama bahwa nikah menyangkut hak setiap orang.

Penulis bukanlah seorang peneliti. Namun dari berbagai literatur, peristiwa nikah di usia dini -- dengan cara nikah siri -- banyak terjadi. Para peneliti nampaknya lebih berusaha menungkap mengapa hal itu terjadi. Dan, mereka pun memberi solusinya. Ujungnya, lebih banyak diungkap kepada persoalan kemiskinan atau lemahnya ekonomi orang tua yang harus diperbaiki.

Adanya orang tua mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama karena anak merasa takut tidur seorang diri, sepatutnya harus diuji. Baik dari sisi ekonomi atau pun psikologi anak bersangkutan. Bila jujur, ya ujung-ujungnya karena keterbatasan orang tua sebagai dampak lemahnya ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga : Ketika Kemenag Nggak Peduli Soal Perceraian

Sejatinya perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Namun bagaimana dapat mewujudkan kebahagiaan jika saja untuk kebutuhan jasmaniah masih terabaikan? Apa lagi pelaku yang menjalaninya masih anak-anak.

Indahnya, setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu juga ditegaskan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Tapi, realitasnya, banyak tidak tercatat. Perkawinan tidak tercatat akan menimbulkan banyak hal; ketidakjelasan status anak, pengabaian hak perempuan dan beban bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun