Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meski Pilkada Digelar, Menyuarakan Toleransi Tidak Boleh Mati

19 Januari 2018   10:14 Diperbarui: 19 Januari 2018   10:32 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memasuki tahun politik - 2018 dan 2019 - Kemenag akan berjibaku menjaga kerukunan antarumat dan interumat. Foto | Dokpri.

Secara keseluruhan, toleransi di Tanah Aikr masih baik, meski kita juga tidak bisa menutup mata tentang masih adanya praktek intoleransi. Riak-riak kecil masih nampak. Ini harus diwaspadai, disikapi dan diselesaikan. Dan, harus diakui bahwa  Indonesia sejak ratusan tahun dikenal dunia sebagai bangsa toleran. Bukti ini bisa dilihat dengan tetap kokohnya NKRI hingga saat ini.

Survei Litbang Kemenag, indeks kerukunan Indonesia berada pada angka 75,36 persen pada 2015. Indeks ini naik pada 2016 menjadi 75,47 persen.

Dalam menjaga toleransi dan kerukunan umat beragama, para pemangku kepentingan di Tanah Air terus menerus melakukan berbagai upaya. Misalnya, menyebarluaskan esensi dan substansi ajaran agama, bahwa keragaman adalah kehendak Tuhan. Selain itu, menggelar berbagai dialog antarumat beragama. Termasuk di internal umat agama itu sendiri.

"Toleransi adalah kemauan dan kemampuan untuk menghormati perbedaan. Untuk menjaga keindonesiaan dan keragaman kita, Bangsa ini harus terus-menerus menjaga dan memelihara kemampuan dan kemauannya untuk bertoleransi," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di berbagai kesempatan.

Mengingat demikian pentingnya hal ini, maka ke depan, kesungguhan bertoleransi harus dijaga. Terlebih, toleransi bersifat dinamis dan dipengaruhi situasi serta kondisi yang melingkupinya. Meski demikian, dia menilai, toleransi dan kerukunan di Indonesia masih baik.

Toleransi antaragama yang telah terbangun di Indonesia layak menjadi model untuk pemuda dengan beragam latar belakang agama di seluruh dunia. Lukman yakin, Indonesia bisa menjadi model bagi dunia khususnya Asia melalui kaum mudanya untuk melihat bagaimana semestinya menyikapi keberagaman.

Ketika berbicara pada "Asian Youth Day" ke 7 di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Lukman menyebut, kelestarian bangunan Candi Borobudur sebagai tempat ibadah Umat Buddha dan Candi Prambanan sebagai tempat ibadah Umat Hindu di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim menjadi bukti bahwa toleransi antaragama dan budaya masih sangat dijunjung tinggi di negara ini.

Demikian juga hubungan Umat Katolik dan Umat Islam di Indonesia, bisa terjalin harmonis dan bisa saling menjaga ketika salah satu di antaranya menjalankan ibadah.

Keberagaman, merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak oleh masyarakat manapun. Melalui keberagaman, justru masyarakat bisa saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain, bukan saling menegasikan atau meniadakan harkat dan martabat kemanusiaan.

Agama hadir agar kemajemukan dan keragaman bisa diambil nilai positif dan kemanfaatannya. Lantas, masihkah pantas untuk bertikai?

Dalam waktu dekat, hitungan bulan, di Tanah Air akan digelar Pilkada serentak. "Suhu politik" -- seperti juga pengalaman tahun-tahun sebelumnya di tahun politik -- bakal banyak isu digoreng yang kadang jika dicermati bisa menjurus kepada perpecahaan antarumat, interumat dan antarwarga. Boleh jadi perceraian di rumah tangga pun bisa terjadi karena perbedaan pilihan partai politik.

Berbekal pengalaman Pilgub di Jakarta tempo lalu, sepanjang 2017 penulis sering mengangkat isu toleransi. Dari tulisan-tulisan tersebut, redaktur Kompasiana banyak menempatkan artikel penulis sebagai berita utama. Baik artikel utama menyangkut toleransi keagamaan maupun kerukunan antarumat selama Pilgub berlangsung.

Penulis berharap pesan toleransi di Kompasiana tidak boleh mati. Ini penting untuk kepentingan NKRI. Sebab, penulis banyak menyaksikan peristiwa konflik sosial, kejadian intoleransi yang sangat memilukan. Bahkan meninggalkan luka demikian dalam pada setiap individu, dendam dan kebencian sepanjang hayat.

Untuk kepentingan kurasi artikel Kompasiana, penulis mencatat lima artikel utama menyangkut toleransi, dengan harapan Pilkada 2018 ini menggoreng isu SARA dan intoleransi dapat dikurangi. Artikel yang dimaksud itu adalah:

Pesan Toleransi di Hari Waisak

Habib Bernyali Besar

Aku Tak Ingin Patung Gus Dur Juga Dipersoalkan

Etnis Tionghoa sebagai Pembawa Islam dan "Gorengan Politik" [Bagian II]

Siapa takut Mengucapkan Selamat Natal?

Masih banyak tulisan lainnya yang diangkat penulis dan menjadi artikel pilihan, seperti tentang Ahmadiyah, pengajian Tri Sakti mengaktualisasikan pesan Idul Adha, Gunakan "Bahasa Bunga" untuk mengayomi rakyat, Jauhkan Pemuda dari Paham ISIS, Din Syamsuddin Perkuat Tugas Kementerian Agama, Jauhkan Mengejek Orang Lain, Apalagi Agamanya.

Pesan Toleransi di Hari Waisak

Seluruh umat beragama mampu menghargai serta menghormati perbedaan antar-kalangan umat beragama. Tentu hal ini tidak bisa lepas dari peran para tokoh agama dan masyarakat yang memelihara toleransi.

Sementara di Bali, wisatawan mancanegara terlihat sangat menikmati penampilan 13 ogoh-ogoh (boneka raksasa berwujud menyeramkan) hasil kreativitas pemuda di Desa Beraban, Tabanan.

Ogoh-ogoh punya makna untuk menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif 'Bhuta Kala' atau makluk yang tidak kelihatan. Namun penampilannya telah menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Karenanya, ke depan harus dilestarikan secara berkelanjutan.

Ogoh-ogoh yang ditampilkan menjelang perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1939 itu, memiliki pesan kuat bagi kehidupan manusia. Jika direfleksikan, manusia memiliki ego atau nafsuh. Namun manusia diperintahkan untuk mampu mengubah kehidupan yang sebelumnya buruk menjadi lebih baik.

Makna arak-arakan ogoh-ogoh adalah sebagai simbol sifat raksasa itu dalam diri manusia yang harus dibasmi dan dihilangkan. Sifat buruk tersebut hendaknya diganti dengan sifat ke-dewata-an atau kebaikan.

Esensi dari pawai ogoh-ogoh yang berlangsung serentak bagi umat Hindu di Indonesia sejatinya merupakan salah satu upaya mendorong dan meneguhkan berkembangnya toleransi di bumi nusantara yang indah ini.

Habib Bernyali Besar

Tulisan ini dilatarbelakangi kejadian di Cipinang Muara yang digegerkan tindakan persekusi oleh sejumlah orang terhadap remaja berusia 15 tahun di Cipinang Muara, Jakarta Timur, PMA. Persekusi atau sebutan lainnya sebagai pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga kemudian diintimidasi hingga diperlakuan dengan kekerasan.

Kasus tersebut juga dialami seorang perempuan berprofesi dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat, Fiera Lovita, yang akhirnya memilih untuk pindah kerja akibat mendapatkan intimidasi dari ormas tertentu. Fiera Lovita dan PMA ini sebelumnya diketahui mengunggah status dan gambar yang dinilai menyinggung organisasi tertentu sehingga menyulut amarah dan mendapatkan intimidasi dari ormas tersebut.

Kasus tersebut mendapat perhatian Presiden Joko Widodo. "Sangat berlawanan dengan asas-asas hukum negara. Jadi, perorangan maupun kelompok-kelompok maupun organisasi apa pun tidak boleh main hakim sendiri, tidak boleh, kata Presiden Jokowi," katanya usai acara Kajian Ramadan 1438 Hijriah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur yang digelar di Universitas Muhammadiyah Malang Dome, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Sabtu.

Apalagi jika persekusi tersebut dilakukan mengatasnamakan penegakan hukum. "Dan siapa pun, baik individu, kelompok maupun organisasi masyarakat dari kelompok mana pun segera hentikan. Hentikan dan semuanya serahkan persoalan itu kepada aparat hukum, kepada kepolisian," pinta Presiden Jokowi.

Penulis masih ingat betul, kala rekan penulis bernama Habib di wilayah itu yang memiliki jiwa kepempinan dan disegani. Ia bernama Habib. Jika saja Habib masih ada, dapat dipastikan akan membersihkan pelaku-pelaku tindak kekerasan. Para persekusi akan dilumatnya.

Habib tergolong memiliki kepedulian tinggi, terutama dengan lingkungan dan ketertibannya. Bila kejadiannya menyangkut penganiayaan, tindak kekerasan kepada orang lemah, bisa jadi adu "jual-beli" pukulan dilayaninya. Sebab, Habib tergolong orang punya mental kuat, bukan pengecut.

Habib yang lahir di Cipinang Muara ini adalah orang punya nyali besar. Setelah Habib tiada, kapankah habib bernyali besar dan tokoh besar lainnya muncul dari Kampung Cipinang Muara?

Aku tak ingin Patung Gus Dur Dipersoalkan
Mencuatnya fenomena memprotes kehadiran patung membuat hatiku jadi tambah 'dag dig dug'. Khawatir protes dari kelompok penentang kehadiran patung raksasa dewa Kongco Kwan Sing Tee Koen di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban, Jawa Timur, menginspirasi pihak lain 'ikut-ikutan' nimbrung tanpa disertai akal sehat menuntut patung Gus Dur pun dimusnahkan.

Bisa jadi karena terinspirasi protes tersebut, ke depannya setiap patung, apa pun bentuknya yang dibangun, diprotes. Apakah bentuknya buah-buahan, beragam binatang seperti macan, harimau, badak, lambang negara Garuda Pancasila dianggap sebagai perbuatan musyrik dari sisi agama.

Pernakah Anda mendengar anak sekolah menolak memberi hormat kepada bendara Merah Putih lantaran 'termakan' ajaran bahwa menghormati bendera sebagai perbuatan menyembah berhala?

Laman Jurnal Toddoppuli pernah mengangkat perihal ini. Penghormatan terhadap bendera dianggap sebagai tindakan musyrik, karena sama saja menghormati benda mati. Peristiwa ini terjadi di Karanganyar, Jawa Timur. Itulah sebabnya mengapa sekolah bersangkutan tidak pernah menggelar upacara setiap hari Senin.

Belakangan penolakan tersebut, seperti diungkap Kepala Kantor Kementerian Agama Karanganyar, Juhdi Amin, merupakan adopsi pihak sekolah dari Timur Tengah. Hal ini dibenarkan pula oleh salah satu pengurus MUI, KH Cholil Ridwan. Mereka itu memegang ajaran Wahabiyah, yakni ajaran yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1115 -- 1206 H/1701 -- 1793 M).

Pihak kepala sekolah SD Islam Sains Teknologi Al Albani dan SMP Al Irsyad menolak menghormati bendera. Mereka menilai penghormatan terhadap bendera adalah bid'ah yang mengarah kepada kemusyrikan. Sama halnya dengan ziarah ke makam.

Maka, jelas saja ajaran sesat tersebut telah merusak kehidupan anak-anak dalam bernegara.

Dan terkait berdirinya patung Kongco Kwan Sing Tee Koen, di Purwakarta, Jawa Barat, jauh sebelumnya telah mengemuka soal patung yang dibangun Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.

Hadirnya sejumlah patung di daerah itu belakangan oleh sekelompok warga yang mengatasnamakan tokoh agama dinyatakan sebagai perbuatan musyrik. Mengingat momentumnya mendekati Pilkada 2018, isu itu kemudian "digoreng" oleh sekelompok orang dan dijadikan komoditas politik.

Etnis Tionghoa sebagai Pembawa Islam dan "Gorengan Politik" [Bagian II]
Perlu keberanian dan sejarah memang harus diluruskan. Hitam harus dikatakan senyatanya hitam dan putih haruslah disebut sedemikian adanya. Dengan cara itu kita dapat menempatkan rasa hormat sebagaimana mestinya. 

Hal ini erat kaitannya dengan sejarah etnis Tionghoa sebagai pembawa Islam yang jejaknya "disamarkan" dan kadang "digoreng" sedemikian rupa untuk kepentingan instumen politik.

Tulisan yang diturunkan dalam dua bagian itu, tulisan pertama ditempatkan sebagai artikel pilihan dan artikel bagian kedua sebagai artikel utama. Tulisan ini berawal dadi terhentaknya hati penulis kala membaca sekilas tulisan berupa pesan Presiden RI BJ Habibie di Museum Cheng Ho. 

Mata terasa tersedot, melotot dan kemudian membacanya perlahan-lahan agar tak satu pun kata tertinggal. Lalu, diulang kembali membaca sambil memperhatikan barisan hurufnya dengan latarbelakang warna merah dan tercetak dengan huruf warga putih terang.

Karena demikian panjangnya, penulis mencoba mensarikan pesan yang ingin disampaikan bahwa perjalanan etnis Tionghoa ke Bumi Nusantara, eloknya dapat dijadikan sumber inspirasi untuk meningkatkan kesadaran bahwa bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia sejatinya tak mengenal sebagai penduduk asli "tulen". 

Pergerakan atau mobilisasi warga dari satu negeri ke negeri lain demikian cepat, terlebih asimilasi telah berlangsung secara alamiah sehingga kita pun belum tentu tahu nasabnya berujung ke siapa.

Dalam konteks kekinian, seluruh elemen di Tanah Air penting meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengingat dalam waktu dekat akan digelar Pilkada secara rentak. Seperti disebut oleh Komisi Pemulihan Umum (KPU) RI tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 sudah ditetapkan pada 27 Juni 2018.

Dalam pesta demokrasi itu, telah diagendakan bahwa 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018 secara serentak, 10 bulan sebelum hari pencoblosan berbagai aktivitas sudah dilakukan. Antara lain, sosialisasi dan kampanye tentunya. Itu berarti tahapannya dimulai Agustus 2017. Untuk ini, perlu disegarkan ingatan bersama bahwa sudah tak layak lagi menjual isu SARA untuk mendulang suara.

Dalam alam demokrasi kedudukan setiap individu dijamin konstitusi negara. Negara hadir mengatur kehidupan anak bangsa, baik dari sisi sosial budaya, hukum dan kebebasan menjalankan ibadahnya agar roda pemerintahan dapat berjalan baik. Namun semua itu dapat berlangsung baik apabila dibarengi adanya kesadaran bahwa "menggoreng" isu etnis Tionghoa sebagai komoditas politik sayogyanya tak patut diangkat dalam Pilkada serentak mendatang.

Siapa takut Mengucapkan Selamat Natal?

Prihal menyampaikan ucapan selamat Natal, dari tahun ke tahun, kerap mengemuka. Ada yang mengambil sikap setuju dan menolak. Ada sebagian umat Muslim yang merasa tidak masalah mengucapkan selamat Natal, tetapi ada pula yang merasa hal itu diharamkan.

Ribet deh... soal ginian.

Tapi, itulah realiasnya. Manusia adalah khalifah di atas bumi dan harus hidup bertoleransi guna menjaga keharmonisan.

Dulu, ketika Suryadharma Ali masih menjabat menteri agama, ia dengan tegas menyebut bagi seorang umat Islam menyampaikan ucapan selamat kepada kalangan umat Nasrani yang merayakan Natal tak menjadi persoalan dan itu merupakan hal biasa.

Mengapa demikian? Sebab, hal itu disampaikan di luar kontek ritual. Bukan ketika disampaikan dalam suasana ritual Natal. Demikian pula saat Buddha dan Khong Hu Cu. Tak ada persoalan di situ. Semua itu menggambarkan semangat toleransi dan Indonesia yang terikat dalam kebhinekaan.

Hingga kini Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum pernah menyatakan atau mengeluarkan fatwa mengharamkan ucapan selamat Natal. Juga tidak pernah melarang umat Muslim mengucapkan selamat Natal pada umat Kristiani.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2015-2020), Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, terkait "ramainya" pembahasan mengucapkan Natal itu, angkat bicara. Di berbagai laman, ia menjelaskan panjang lebar. Karena itu, sesuai ketentuan di Kompasiana, saya membatasi kutipan itu namun diharapkan dapat memberi pencerahan bagi umat Muslim.

"Apakah mengucapkan "Selamat Natal", artinya kita menyatukan agama Islam dan Kristiani? Ucapan selamat tak lebih dari adab santun tidak ada bedanya dengan ucapan "Selamat Ulang Tahun", atau "Selamat Menempuh Hidup Baru" bagi pasangan baru menikah, atau saat mendengar istri kawan baru hamil," tegas Ketua Umum PBNU ini.

Menurut kiai asal Kempek, Cirebon ini, ucapan Selamat Natal tidak ada kaitannya dengan akidah. "Masalahnya di mana? Tidak ada urusannya dengan akidah, hanya adab berbagi bahagia, tidak kurang tidak lebih, karena kita manusia, bukan binatang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun