Saya teringat sebuah kasus bertahun-tahun lalu, di mana diagnosis seorang pasien tidak bergantung pada data laboratorium, melainkan pada getar subtil dalam suaranya saat ia ragu-ragu menjawab pertanyaan.
Momen hening itu, sebuah isyarat non-verbal yang nyaris tak terlihat, membuka pintu kebenaran klinis yang tersembunyi. Inilah esensi dari apa yang disebut "seni kedokteran" (the art of medicine), sebuah praktik yang bertumpu pada fakultas manusia yang melampaui komputasi. Kini, saat Kecerdasan Buatan (AI) menjanjikan revolusi medis, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan tak terduga.
Risiko terbesar AI bukanlah penggantian dokter, melainkan rekayasa ulang kognitif dan empatik yang halus terhadap cara berpikir dokter itu sendiri. Kita sedang melatih para penyembuh untuk berpikir seperti mesin yang mereka gunakan, mendevaluasi intuisi---atau "firasat klinis"---yang justru menjadi keunggulan manusia yang tak tergantikan. Ini bukan pertarungan antara manusia melawan mesin, melainkan pergulatan untuk jiwa kedokteran itu sendiri.Â
Bayangan Algoritmik Diri Kita
Adopsi AI dalam praktik medis secara fundamental mengubah orientasi kehadiran klinis dokter. Efisiensi yang ditawarkan memang menggiurkan; AI dapat mengotomatisasi tugas administratif dan menganalisis data pencitraan medis dengan kecepatan super-human.
Namun, efisiensi ini datang dengan biaya psikologis yang tersembunyi. Dokter dan penulis Abraham Verghese secara tajam mengidentifikasi fenomena ini dengan konsep "iPatient"---representasi digital pasien dalam rekam medis elektronik. Perhatian dokter, sebagai sumber daya kognitif yang terbatas, secara sistematis beralih dari manusia yang duduk di hadapannya ke avatar data yang terpampang di layar. "iPatient" menerima perawatan yang luar biasa, sementara pasien yang sesungguhnya merasa terabaikan dan tak terdengar. Proses ini, yang disebut Verghese sebagai "pengosongan" kedokteran, menciptakan jarak di saat teknologi seharusnya mendekatkan.Â
Ketergantungan berlebih ini memicu atrofi kognitif. Otot diagnostik otak---yang diasah melalui pemikiran Sistem 2 yang menuntut usaha, seperti dijelaskan oleh Daniel Kahneman---melemah ketika analisis kompleks dialihdayakan ke algoritma.
 Ini melahirkan bias otomasi, sebuah jebakan kognitif di mana manusia secara tidak kritis menerima solusi yang dihasilkan mesin. Ketergantungan ini menciptakan bentuk-bentuk kesalahan baru yang lebih berbahaya, mengubah dokter dari pemikir kritis menjadi validator pasif. Lebih jauh lagi, AI bukanlah alat yang netral. Ia adalah cermin yang memantulkan dan memperkuat bias yang sudah ada dalam data pelatihannya.
Contohnya sangat gamblang: algoritma risiko kardiovaskular terbukti kurang akurat untuk warga Afrika-Amerika karena 80% data pelatihannya berasal dari ras Kaukasia; algoritma kanker kulit gagal pada kulit yang lebih gelap; dan algoritma rontgen dada kurang akurat untuk perempuan. AI tidak hanya mereplikasi bias ini; ia melegitimasinya di bawah selubung objektivitas ilmiah, mengubah diskriminasi sistemik menjadi seolah-olah hasil keluaran data yang objektif.Â
Paradoks Empati