Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertempuran Waktu di Jalan Progresif No. 12

23 September 2025   05:40 Diperbarui: 22 September 2025   12:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam digital di sudut ruang makan keluarga Arman, sebuah gawai minimalis dari Jepang, berkedip pukul 06:17 dengan presisi. Angka-angka itu tidak mengumumkan pagi, melainkan meluncurkan sebuah perlombaan. Di rumah ini, di Jalan Progresif Nomor 12, waktu bukanlah sahabat untuk dinikmati, melainkan seekor predator yang harus senantiasa dilumpuhkan dengan produktivitas.

Arman menyesap kopi instan dari cangkir bertuliskan '#1 DAD'. Ironis. Uap kopi yang dijanjikan beraroma kemewahan Italia itu gagal menutupi bau hangus dari ambisinya sendiri. Di layar laptopnya, seorang motivator meninju-ninju udara. "Masa depan bukan untuk ditunggu, tapi untuk ditaklukkan!" seru teks di bawah video.

Arman mengangguk khusyuk, seolah baru saja menerima perintah dari panglima tertinggi. Pandangannya melesat ke seberang meja, mengunci Raka, putranya, yang tengah menatap selembar roti tawar dengan ekspresi seorang terpidana menatap hidangan terakhirnya.

"Jadwal mock-up TOEFL-mu sudah Ayah kunci di kalender Google. Sabtu pagi. Ini bukan opsi, Raka, ini milestone. Kamu tahu bedanya, kan?" Suara Arman datar, efektif, dan tanpa ruang untuk negosiasi. Mirip email dari atasan.

Raka meletakkan rotinya. Energi di ruangan itu berubah. "Aku dapat peran utama di teater sekolah, Pak." Kalimat itu keluar bukan sebagai permintaan izin, melainkan sebagai sebuah deklarasi kemerdekaan yang rapuh. "Bukan figuran. Peran utama."

Keheningan yang menyusul terasa berat, tebal, dan sarat akan sejarah pertarungan-pertarungan kecil yang tak pernah dimenangkan siapa pun. Di dapur, suara spatula Ibu yang beradu dengan wajan terdengar seperti detak jantung yang panik.

"Teater, kau bilang?" Arman menutup laptopnya. Sebuah gerakan final. Rapat selesai. "Raka, kita sudah melewati fase ini. Itu distraksi. Portofolio untuk beasiswa ke Stanford itu masa depan. Kita tidak membangun masa depan di atas panggung reyot dan tepuk tangan basa-basi."

Ibu Raka muncul, membawa piring berisi nasi goreng dan seulas senyum yang dipaksakan. "Tapi, Yah, sekali ini saja? Lihat dulu bagaimana..." Ia meletakkan piring di depan Raka, sebuah persembahan damai yang sia-sia.

"Kita bukan keluarga yang menggantungkan hidup pada imajinasi," desis Arman, kalimatnya memotong udara seperti pisau. "Kita membangun sesuatu yang nyata. Dinding. Aset. Warisan. Bukan angan-angan."

Tepat saat itu, ponsel Arman berdering, memecah ketegangan dengan nada ceria yang terasa sumbang. Panggilan video. Wajah Oma dan Opa yang penuh keriput cinta memenuhi layar, sebuah portal ke dunia lain di mana waktu berjalan lebih lambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun