Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Relung Psikologi Film "Dune Part Two"

21 September 2025   08:36 Diperbarui: 21 September 2025   08:26 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dune Part Two (Sumber: Letterboxd pada https://letterboxd.com/no_encore/film/dune-part-two/)

Di akhir pekan yang tenang, ketika kopi mulai mendingin dan notifikasi kerja perlahan mereda, "Dune Part Two" hadir bukan sekadar tontonan visual. Ia adalah undangan untuk menyelami gurun batin yang jarang kita jamahi. Seperti membuka jendela ke lanskap jiwa yang luas, sunyi, dan penuh teka-teki.

Paul Atreides bukan hanya tokoh fiksi yang berjuang di gurun Arrakis. Ia adalah cermin dari kita yang kadang terjebak antara harapan dan trauma, antara takdir dan pilihan. Dalam hidup, kita pun sering berdiri di persimpangan seperti Paul---antara mengikuti suara hati atau tunduk pada tekanan sosial.

Film ini tidak menawarkan jawaban instan, melainkan mengajak kita bertanya ulang: apa arti kekuasaan jika kehilangan makna? Seperti seseorang yang mengejar promosi jabatan tapi lupa mengapa ia bekerja sejak awal. Di tengah gemuruh ambisi, kita sering lupa bahwa kemenangan tanpa kedalaman adalah kekosongan yang dibungkus gemerlap.

Epos, Kekuasaan, dan Trauma Kolektif

Epos dalam film bukan sekadar perang fisik, melainkan perang batin yang sunyi. Kita pun, dalam keseharian, berperang melawan rasa takut, ekspektasi orang lain, dan bayang-bayang masa lalu. Kadang, perjuangan terbesar bukan melawan orang lain, tapi melawan versi diri yang belum kita terima.

Pertarungan Paul untuk menyatukan suku-suku mencerminkan upaya kita menyatukan fragmen identitas yang tercerai. Seperti seseorang yang mencoba berdamai dengan masa kecilnya sambil menjalani peran dewasa yang kompleks. Film ini mengingatkan bahwa integrasi bukan hanya soal politik, tapi juga soal psikologi personal.

Visi masa depan yang mengerikan dalam film adalah metafora dari kecemasan kolektif kita. Kita pun sering membayangkan skenario terburuk sebelum tidur, dari krisis iklim hingga relasi yang retak. Namun, seperti Paul, kita punya pilihan: membiarkan ketakutan menguasai, atau mengubahnya menjadi kompas arah.

Gurun dalam film bukan hanya latar, tapi simbol dari ruang batin yang sunyi dan penuh potensi. Seperti pagi Minggu yang sepi, di mana kita bisa mendengar suara hati lebih jelas. Gurun itu bisa menakutkan, tapi juga bisa menjadi tempat kelahiran makna baru.

Cinta, Kepemimpinan, dan Relung Emosi

Ketika Paul harus memilih antara cinta dan takdir, kita diingatkan pada dilema sehari-hari. Seperti memilih antara waktu bersama keluarga atau menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Film ini tidak menghakimi pilihan, tapi mengajak kita memahami konsekuensinya.

Karakter Chani menjadi suara nurani yang jujur dan tak kompromi. Ia mengingatkan bahwa cinta sejati bukan selalu mendukung, tapi kadang menantang agar kita tetap otentik. Dalam hidup, kita pun butuh sosok seperti Chani---yang berani berkata "tidak" demi menjaga integritas.

Film ini juga bicara tentang kehilangan dan pengorbanan. Seperti orang tua yang rela melepas anaknya merantau demi masa depan yang lebih baik. Duka dalam film bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipeluk sebagai bagian dari pertumbuhan.

Narasi tentang kekuasaan dan spiritualitas dalam "Dune" mengajak kita merenungi relasi antara agama dan politik. Seperti melihat bagaimana hari libur nasional bisa menjadi simbol identitas sekaligus alat legitimasi. Film ini tidak memberi jawaban, tapi membuka ruang refleksi yang luas.

Di tengah gurun yang tandus, muncul oasis berupa harapan dan solidaritas. Seperti menemukan senyum dari orang asing di tengah kemacetan kota. Film ini mengajarkan bahwa bahkan di tempat paling sunyi, manusia tetap bisa saling menyembuhkan.

Pertanyaan besar dalam film---siapa yang layak memimpin, dan atas dasar apa---adalah pertanyaan yang relevan dalam kehidupan kita. Seperti memilih ketua RT yang benar-benar peduli, bukan hanya populer. Kepemimpinan sejati lahir dari empati, bukan dari ambisi.

Menonton sebagai Ritual Reflektif

Film ini menyuguhkan visual yang megah, tapi kekuatan sejatinya terletak pada narasi psikologisnya. Ia tidak memanjakan mata semata, tapi menggugah kesadaran. Seperti membaca puisi di tengah keramaian---diam-diam menyentuh bagian terdalam dari diri kita.

Dalam setiap adegan, ada lapisan emosi yang bisa dirasakan jika kita cukup diam. Seperti mendengar suara hujan di pagi hari dan membiarkannya membasuh kekhawatiran. Film ini tidak memaksa kita paham, tapi mengundang kita untuk hadir sepenuhnya.

Paul bukan pahlawan sempurna, dan itu justru membuatnya manusiawi. Seperti kita yang kadang gagal, marah, atau bingung, tapi tetap mencoba. Film ini memberi ruang bagi ketidaksempurnaan untuk menjadi bagian dari perjalanan.

Di akhir film, kita tidak hanya membawa cerita, tapi juga cermin. Cermin untuk melihat relung dalam diri yang selama ini kita hindari. Seperti membuka album lama dan menemukan versi diri yang pernah bermimpi besar.

Menyaksikan "Dune Part Two" di hari Minggu bisa menjadi ritual reflektif yang menyegarkan. Bukan untuk mencari hiburan semata, tapi untuk menyentuh bagian jiwa yang jarang disentuh. Seperti berjalan pagi tanpa tujuan, tapi pulang dengan ketenangan.

Film ini bukan hanya tentang masa depan, tapi tentang masa kini yang sedang kita jalani. Ia mengajak kita berhenti sejenak dari rutinitas dan bertanya: apa yang benar-benar penting? Seperti mematikan ponsel selama satu jam dan mendengarkan suara hati.

Di tengah dunia yang serba cepat, "Dune" menawarkan jeda. Jeda untuk merenung, untuk merasa, untuk menjadi manusia seutuhnya. Dan mungkin, itu yang paling kita butuhkan di hari Minggu yang sunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun