Baru saja dilantik, seorang menteri idealnya menikmati "bulan madu" politik---sebuah masa tenggang untuk membangun citra positif dan meraih simpati publik. Namun, bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, periode itu seakan hangus bahkan sebelum dimulai.
Dalam tiga hari, tiga pernyataan kontroversialnya memicu badai di ruang publik, memaksanya berulang kali melakukan klarifikasi. Insiden ini lebih dari sekadar slip of the tongue atau kesalahan komunikasi biasa. Ia adalah gejala awal dari jurang pemisah yang menganga antara logika teknokratis elite dan realitas emosional masyarakat.
Jika kita hanya melihatnya sebagai blunder personal, kita kehilangan gambaran besarnya. Kejadian ini adalah studi kasus tentang bagaimana seorang pejabat, yang mungkin berniat baik, dapat gagal total dalam ujian pertama di panggung kuasa: komunikasi publik.
Melalui lensa komunikasi politik, psikologi sosial, dan sosiologi politik, kita dapat membedah kegagalan ini dan memproyeksikan implikasinya dalam tiga bulan mendatang---sebuah periode krusial yang akan menentukan nasib legitimasinya.
Gema Elitisme dalam Ruang Digital
Dari perspektif ilmu komunikasi politik, kesalahan Purbaya berakar pada kegagalan fundamental untuk membedakan antara komunikasi elite dan komunikasi publik. Pernyataannya yang meremehkan demonstran sebagai "sebagian kecil masyarakat" yang pada akhirnya akan "sibuk cari kerja dan makan enak" adalah contoh sempurna dari retorika teknokratis.
Dalam forum terbatas sesama ekonom atau pembuat kebijakan, argumen ini mungkin dianggap rasional: pertumbuhan ekonomi adalah solusi akhir dari keresahan sosial. Namun, ketika disiarkan ke ruang publik, narasi ini berubah menjadi bumerang. Ia terdengar arogan, dingin, dan mengabaikan legitimasi aspirasi warga.
Di sinilah peran media sosial sebagai "amplifier" menjadi tak terhindarkan. Dulu, pernyataan canggung seorang pejabat mungkin hanya akan menjadi berita sekilas. Kini, potongan video atau kutipan singkat menjadi viral dalam hitungan jam, ditafsirkan ulang, dan diberi makna baru yang sering kali jauh dari konteks aslinya. Pernyataan Purbaya menjadi simbol alienasi kekuasaan. Ini bukan lagi soal benar atau salah secara data, tetapi soal rasa dan empati.
Proyeksi Tiga Bulan ke Depan: Insiden ini akan memaksa istana melakukan "kurasi verbal" yang ketat terhadap Purbaya. Ia kemungkinan besar akan dibekali tim komunikasi strategis yang menyaring setiap kata-katanya. Akibatnya, Purbaya yang tampil di publik akan menjadi figur yang lebih hati-hati, terukur, bahkan mungkin kaku. Spontanitasnya akan hilang, digantikan oleh pernyataan-pernyataan yang telah disetujui. Pertanyaannya, apakah publik akan melihatnya sebagai bentuk pendewasaan komunikasi atau sebagai tanda bahwa ia kini menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng pencitraan?
"Jadi Diri Sendiri" yang Terjebak Peran
Secara psikologis, tekanan menduduki jabatan strategis seperti Menteri Keuangan bisa sangat luar biasa. Tiga klarifikasi dalam tiga hari menunjukkan adanya respons spontan di bawah tekanan tinggi. Pembelaan Purbaya bahwa ia hanya tampil sebagai "diri sendiri" saat rapat dengan DPR justru menyingkap konflik inti antara identitas personal dan peran institusional.
Mungkin, "diri sendiri" seorang Purbaya adalah teknokrat yang lugas, analitis, dan tidak berbasa-basi. Namun, publik tidak sedang berinteraksi dengan Purbaya sebagai individu, melainkan dengan Menteri Keuangan Republik Indonesia---sebuah peran sosial yang menuntut kebijaksanaan, empati, dan kemampuan mendengar.
Konflik ini sering terjadi pada pejabat baru yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan ekspektasi publik atas peran barunya. Analogi sederhananya seperti seorang dokter bedah brilian yang terkenal karena kejujuran brutalnya. Di antara sesama dokter, gayanya dihargai. Namun, ketika ia menggunakan gaya yang sama untuk berbicara dengan keluarga pasien yang cemas, kejujurannya berubah menjadi kekejaman. Peran menuntut adaptasi. Klaim "menjadi diri sendiri" dalam konteks ini bukanlah sebuah kebajikan, melainkan sebuah miskalkulasi psikologis tentang ekspektasi peran.
Proyeksi Tiga Bulan ke Depan: Purbaya akan menghadapi dilema internal. Ia harus memilih antara terus mempertahankan gaya personalnya dengan risiko terus menggerus kepercayaan publik, atau beradaptasi sepenuhnya dengan peran barunya yang mungkin terasa tidak otentik bagi dirinya. Tiga bulan ini akan menjadi ujian resiliensi psikologisnya. Jika ia gagal menemukan keseimbangan, setiap kebijakannya, sekalipun brilian secara ekonomi, akan sulit diterima publik karena sosok pembawanya telah kehilangan kredibilitas emosional.
Kebijakan Ekonomi Tanpa Dukungan Empati
Secara sosiologis dan ekonomi politik, pernyataan Purbaya adalah manifestasi dari jarak sosial yang nyata antara elite penguasa dan masyarakat. Ketika ia menawarkan solusi pertumbuhan ekonomi 6--7% untuk meredam demonstrasi, ia secara tidak langsung menyatakan bahwa aspirasi publik dapat direduksi menjadi urusan perut semata.
Ini adalah pandangan yang mengabaikan dimensi martabat, keadilan, dan keinginan untuk didengar yang menjadi inti dari setiap gerakan sosial. Ruang publik tidak kosong; ia dipenuhi oleh makna, simbol, dan narasi yang dibangun bersama. Ucapan seorang pejabat akan ditafsirkan melalui lensa pengalaman kolektif masyarakat.
Pendekatan ini berbahaya karena mengasumsikan kebijakan ekonomi dapat berdiri sendiri, terpisah dari komunikasi publik yang inklusif dan empatik. Kebijakan ekonomi terbaik di dunia pun akan gagal jika disampaikan dengan cara yang membuat rakyat merasa tidak dihargai. Purbaya mungkin benar secara angka, tetapi ia salah secara manusia. Ia gagal memahami bahwa legitimasi kebijakan tidak hanya datang dari validitas data, tetapi juga dari penerimaan sosial.
Proyeksi Tiga Bulan ke Depan: Ini adalah pertaruhan terbesar. Jika cara pandang Purbaya mencerminkan filosofi pemerintahan secara keseluruhan, maka kita akan menyaksikan tiga bulan yang penuh gejolak. Setiap kebijakan yang tidak populer---entah itu penyesuaian subsidi, kenaikan pajak, atau lainnya---akan disambut dengan resistensi yang jauh lebih besar.
Oposisi publik tidak lagi didasarkan pada substansi kebijakan, melainkan pada akumulasi ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dianggap tidak berempati. Mampukah sebuah visi ekonomi besar berhasil dijalankan ketika pembawanya telah kehilangan modal sosial yang paling berharga: kepercayaan?
Pada akhirnya, tiga hari pertama Purbaya Yudhi Sadewa bukanlah sekadar catatan kaki dalam sejarah politik, melainkan sebuah peringatan dini. Peringatan bahwa di era demokrasi digital, kecerdasan teknokratis tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional adalah resep menuju kegagalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI