Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hari-hari Awal Purbaya: Ujian Komunikasi di Panggung Kuasa

12 September 2025   08:46 Diperbarui: 12 September 2025   08:39 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (11/9/2025).(KOMPAS.com, 12/09/2025)

Secara psikologis, tekanan menduduki jabatan strategis seperti Menteri Keuangan bisa sangat luar biasa. Tiga klarifikasi dalam tiga hari menunjukkan adanya respons spontan di bawah tekanan tinggi. Pembelaan Purbaya bahwa ia hanya tampil sebagai "diri sendiri" saat rapat dengan DPR justru menyingkap konflik inti antara identitas personal dan peran institusional.

Mungkin, "diri sendiri" seorang Purbaya adalah teknokrat yang lugas, analitis, dan tidak berbasa-basi. Namun, publik tidak sedang berinteraksi dengan Purbaya sebagai individu, melainkan dengan Menteri Keuangan Republik Indonesia---sebuah peran sosial yang menuntut kebijaksanaan, empati, dan kemampuan mendengar.

Konflik ini sering terjadi pada pejabat baru yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan ekspektasi publik atas peran barunya. Analogi sederhananya seperti seorang dokter bedah brilian yang terkenal karena kejujuran brutalnya. Di antara sesama dokter, gayanya dihargai. Namun, ketika ia menggunakan gaya yang sama untuk berbicara dengan keluarga pasien yang cemas, kejujurannya berubah menjadi kekejaman. Peran menuntut adaptasi. Klaim "menjadi diri sendiri" dalam konteks ini bukanlah sebuah kebajikan, melainkan sebuah miskalkulasi psikologis tentang ekspektasi peran.

Proyeksi Tiga Bulan ke Depan: Purbaya akan menghadapi dilema internal. Ia harus memilih antara terus mempertahankan gaya personalnya dengan risiko terus menggerus kepercayaan publik, atau beradaptasi sepenuhnya dengan peran barunya yang mungkin terasa tidak otentik bagi dirinya. Tiga bulan ini akan menjadi ujian resiliensi psikologisnya. Jika ia gagal menemukan keseimbangan, setiap kebijakannya, sekalipun brilian secara ekonomi, akan sulit diterima publik karena sosok pembawanya telah kehilangan kredibilitas emosional.

Kebijakan Ekonomi Tanpa Dukungan Empati

Secara sosiologis dan ekonomi politik, pernyataan Purbaya adalah manifestasi dari jarak sosial yang nyata antara elite penguasa dan masyarakat. Ketika ia menawarkan solusi pertumbuhan ekonomi 6--7% untuk meredam demonstrasi, ia secara tidak langsung menyatakan bahwa aspirasi publik dapat direduksi menjadi urusan perut semata.

Ini adalah pandangan yang mengabaikan dimensi martabat, keadilan, dan keinginan untuk didengar yang menjadi inti dari setiap gerakan sosial. Ruang publik tidak kosong; ia dipenuhi oleh makna, simbol, dan narasi yang dibangun bersama. Ucapan seorang pejabat akan ditafsirkan melalui lensa pengalaman kolektif masyarakat.

Pendekatan ini berbahaya karena mengasumsikan kebijakan ekonomi dapat berdiri sendiri, terpisah dari komunikasi publik yang inklusif dan empatik. Kebijakan ekonomi terbaik di dunia pun akan gagal jika disampaikan dengan cara yang membuat rakyat merasa tidak dihargai. Purbaya mungkin benar secara angka, tetapi ia salah secara manusia. Ia gagal memahami bahwa legitimasi kebijakan tidak hanya datang dari validitas data, tetapi juga dari penerimaan sosial.

Proyeksi Tiga Bulan ke Depan: Ini adalah pertaruhan terbesar. Jika cara pandang Purbaya mencerminkan filosofi pemerintahan secara keseluruhan, maka kita akan menyaksikan tiga bulan yang penuh gejolak. Setiap kebijakan yang tidak populer---entah itu penyesuaian subsidi, kenaikan pajak, atau lainnya---akan disambut dengan resistensi yang jauh lebih besar.

Oposisi publik tidak lagi didasarkan pada substansi kebijakan, melainkan pada akumulasi ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dianggap tidak berempati. Mampukah sebuah visi ekonomi besar berhasil dijalankan ketika pembawanya telah kehilangan modal sosial yang paling berharga: kepercayaan?

Pada akhirnya, tiga hari pertama Purbaya Yudhi Sadewa bukanlah sekadar catatan kaki dalam sejarah politik, melainkan sebuah peringatan dini. Peringatan bahwa di era demokrasi digital, kecerdasan teknokratis tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional adalah resep menuju kegagalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun