Mohon tunggu...
Edy Priyatna
Edy Priyatna Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja swasta dibidang teknik sipil, tinggal di daerah Depok, sangat suka menulis...apalagi kalau banyak waktunya, lahir di Jakarta (1960), suka sekali memberikan komentar, suka jalan-jalan....jalan kaki lho, naik gunung, berlayar....dan suka sekali belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

1 Syawal 1432 H Jatuh Pada Hari Rabu 31 Agustus 2011!

29 Agustus 2011   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:22 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sesuai dengan hasil sidang isbat yang dilaksanakan pada hari Senin 29 Agustus 2011 mulai pukul 16.30 WIB, penetapan 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Tanggal jatuhnya awal bulan Syawal telah ditetapkan dalam sidah isbat di Kementerian Agama pada malam ini (jam 20.27 WIB). Berdasarkan 22 sistem hisab yang digunakan di berbagai negara di dunia, mayoritas menunjukkan 1 Syawal jatuh pada Rabu 31 Agustus 2011 mendatang.

Dari hasil yang berdasarkan rilis yang dikeluarkan Kemenag mengenai hasil yang ditunjukkan 22 sistem menggunakan rumus hisab, kebanyakan dari sistem menunjukkan ketinggian hilal masih jauh dari 2 derajat, angka minimal untuk menandai perbedaan bulan. Hanya tujuh di antara 22 sistem tersebut yang menunjuk hilal sudah lebih dari dua derajat atau dengan kata lain, hari tanggal 1 Syawal jatuh pada Selasa. Tujuh sistem tersebut adalah Sulaman-Nayyirain, Fath al-Rauf al-Mannaan, Qawaid al Falakiyah, Ittifau Dzatil Bain, Mathala al-Said dan Astro Info.

Disamping itu pengamatan hilal yang telah dilakukan di 12 titik utama, di antaranya adalah Observatorium Hilal Lhok Nga, Aceh; Pekan Baru, Riau; Menara Timur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung; Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, Jawa Barat; Pos Observasi Bulan (POB) Bukit Bela-belu, Bantul, Yogyakarta; Mataram, Nusa Tenggara Barat; SPD LAPAN, Biak, Papua; Makassar, Sulawesi Selatan; Samarinda, Kalimantan Timur; Nusa Tenggara Barat; Pantai Gebang, Madura; SPD LAPAN Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur telah menugaskan 13 tim untuk melaksanakan rulyatul hilal, namun semuanya gagal melihat hilal. Menurut Koordinator Rukyatul Hilal PWNU Jatim KH Sholeh Hayat, pemantauan hilal itu dilakukan tersebar di 13 titik. Diantaranya di Pesisir Nambangan Kenjeran Surabaya, Pantai Gebang Bangkalan, Bukit Condro Gresik, Giliketapang Probolinggo, Tanjung Kodok Lamongan, Pantai Serang Blitar, Pantai Ambet Pamekasan dan di Situbondo. Semua hasil dari pemantuan telah dilaporkan ke PBNU sebagai bahan pada sidang Isbat di kementerian agama. Dengan hasil tersebut, maka NU Jatim tetap melaksanakan puasa 30 hari dan 1 Syawal 1432 H, jatuh pada 31 Agustus 2011.

Kemudian pengamatan hilal oleh tim Badan Meteorologi dan Geofisika serta observatorium Boscha di Global Trade Centre Makassar, Sulawesi Selatan, juga telah berakhir. Hilal di wilayah ini tidak terlihat. Sesuai dengan pengamatan setelah matahari terbenam pada pukul 18.04 waktu setempat, hilal tidak bisa terlihat. Karena ketinggian hilal yang memang 1 derajat 27 menit sangat sukar terlihat. Walau memakai alat apapun tidak bisa terlihat. Hasil pengamatan hilal di Makassar tersebut sudah dilaporkan ke Departemen Agama.

Sebelumnya Penetapan 1 Syawal 1432 hijriah tahun ini di antara organisasi kemasyarakatan Islam sudah dipastikan akan ada perbedaan. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa 30 Agustus 2011, Persis menetapkan pada hari Rabu 31 Agustus 2011 dan Pemerintah akhirnya menetapkan pada hari Rabu 31 Agustus 2011. Dengan demikian akan ada masyarakat yang merayakan Idul Fitri 1432 H pada tanggal 30 dan 31 Agustus 2011.


Perbedaan tersebut adalah rahmat, dalam dunia keislaman tentu kita mengenal adagium yang menyatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat (al-ikhtilafu rahmah). Dari konsep ini setidaknya akan lebih mendidik umat Islam untuk menilai bahwa distingsi adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin terelakkan lagi. Perbedaan tidak lagi dianggap sebagai pemicu timbulnya perpecahan melainkan sebagai modal untuk bertukar pemikiran dan pandangan. Tidakkah kita sadari mengapa pelangi itu indah. Hal ini karena sejatinya pelangi itu tersusun oleh tujuh warna yang berbeda (mejikuhibiniu). Demikian halnya perbedaan yang terjadi di antara umat manusia (madzhab) yang seharusnya menjadi rahmat bagi umat manusia (ikhtilaf al-aimmah rahmah al-ummah). Bukan justru menjadikan umat berpecah belah, saling menyalahkan, gontok-gontokkan, dan saling mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar. Padahal kebenaran dalam bidang hukum itu adalah plural, tidak singular.

Ulama Besar, Imam Syafi’i, yang pendapatnya banyak dipakai oleh mayoritas umat muslim di dunia, dengan bijaknya beliau mengatakan bahwa pendapatnya benar namun mengandung kesalalahan, dan pendapat orang lain itu salah namun juga mengandung kebenaran (qauly shawab wa yahtamilu al-khatha’, wa qaulu al-qhair khatha’ wa yahtamilu ash-shawab). Perkataan beliau di atas hakikatnya mengajarkan kepada kita akan urgensi etika dalam dunia keilmiahan. Tidak pantas rasanya seorang menganggap bahwa pendapat (ijtihad) nya lah yang paling benar. Padahal kebenaran yang mutlak itu hanyalah milik Allah semata. Manusia (mujtahid) itu hanya berusaha menafsirkan apa yang dimaksudkan Allah dalam firmannya berdasarkan ilmu yang mereka ketahui dan yakini. Tapi, sekali lagi tidak akan mampu menyingkap (menyibak) maksud Allah SWT secara tepat. Andaikata mampu pun mungkin masih mengandung kesalahan dan ketidaktepatan.

Perbedaan dimaknai sebagai kumpulan pemikiran yang akan memperkaya khazanah keilmuan Islam. Dengan demikian akan menjadikan Islam itu luwes yang tidak hanya memiliki satu opsi pendapat yang saklek melainkan memunyai alternatif pendapat yang relevan dan kesemuanya dapat diamalkan. Hal ini karena semua pendapat yang ada adalah berdasarkan perenungan dan ijtihad yang andaikata benar maka akan memperoleh dua pahala dan jika salahpun masih memiliki satu ganjaran pahala (idza ijtahada al-hakim fa ashaba fa lahu ajrani wa idza akhtha’a fa lahu ajrun wahidun). Tentu jika iklim saling menghargai itu terus dikembangkan di kalangan para ulama’ akan menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, respektif dan akomodatif. Perbedaan yang menjadi rahmat pun nampaknya masih bisa dan perlu adanya demarkasi yang tepat dan benar. Dalam batas apa perbedaan itu masih ditolerir dan mendatangkan rahmat. Dan dalam ranah apa pula perbedaan itu harus diminimalisir bahkan dihindari.

Sehingga ijtihad sebagai upaya pengerahan segala kemampuan untuk menemukan hukum syar’i tetap diperlukan. Dengan pertimbangan bahwa kehidupan manusia tidak pernah lepas dari masalah-masalah kontemporer yang terkadang masih kesulitan untuk menemukan hukumnya dari nash-nash, ijma’ dan hasil ijtihad yang ada. Sehingga untuk menentukan hukumnya dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh berdasarkan pada aturan, metodologi dan pemikiran yang tepat dan benar. Perlu dimaklumi juga bahwa hasil ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid akan memungkinkan timbulnya hukum yang variatif dan distingtif. Menanggapi hal ini diperlukan sikap yang bijak dan arif. Selama perbedaan itu memilki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dan dihasilkan dari ijtihad yang sesuai, selaras dengan metodologi yang ada maka patut dihargai dan tidak perlu diperdebatkan. Namun manakala perbedaan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan maka wajib ditolak karena hal itu tidak mengadirkan rahmat di tengah-tengah umat melainkan kekacauan dan ketidaktepatan hukum. Semoga bermanfaat! Amin YRA.-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun