Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

APBN: Ini Soal Keberpihakan, Bung!

8 September 2017   14:03 Diperbarui: 8 September 2017   22:02 1921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti Rabu (6/9) membuat tulisan berjudul Darurat Utang? Tentu Tidak. Tulisan ini menanggapi artikel saya berjudul Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp3,780 Triliun yang dimuat Senin (4/9).

Dalam artikelnya itu, Nufransa memberi kuliah tentang harta negara yang antara lain terdiri atas Barang Milik Negara (BMN), Aset Lancar (Kas, Piutang Jangka Pendek dan Persediaan), Investasi Jangka Panjang (Penyertaan Modal Negara/PMN), Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang, dan Aset Lainnya. Semua itu belum termasuk aset yang dikuasai Pemerintah Daerah. Semua aset Pemerintah pusat tersebut, tidak termasuk kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara.

Dia juga menulis, kewajiban pelunasan utang masa depan ditunjukkan oleh potensi menghasilkan pendapatan yaitu penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak, termasuk dari pemanfaatan aset. Jika membandingkan utang dengan PDB, sampai dengan akhir 2016 rasio utang per PDB kita sebesar 28,3% yang masih jauh dari batas maksimum yang diizinkan UU nomor 17/2013 tentang Keuangan Negara yang 60%. Dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp12.407 T dan pertumbuhan tiap tahun diatas 5%, maka ekonomi Indonesia mampu menutup lebih dari tiga kali lipat dari jumlah utang.

Okelah penjelasannya. Tapi apakah dengan kalimat-kalimat itu sama artinya dengan aman-aman saja kalau Indonesia berutang ribuan triliun rupiah? Juga, artinya, Indonesia akan tetap aman jika terus berutang ribuan triliun rupiah lagi dan lagi?

Sebelum terlalu jauh, saya inging mengingatkan Nufransa, bahwa penerimaan pajak yang berkontribusi pada APBN 2017 sebesar 85,6% sudah lama membuat khawatir. Angkanya terus turun saja. Target memang dipasang tinggi. Tapi dalam perjalanannya sering dikoreksi di APBNP jadi lebih rendah. Itu pun realisasinya tetap saja di bawah target. Sebagai pejabat Eselon II Kemenkeu mosok harus diingatkan lagi soal ini, sih?

Utang versus PDB

Seperti halnya si bosnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI), Nufransa juga getol mengklaim utang Indonesia masih sangat aman karena rasionnya terhadap PDB hanya 28,3%. Angka ini jauh di bawah batas maksimal yang diizinkan nomo 17/2013 tentang Keuangan Negara yang 60%. Angka di bawah 30% itu kian terlihat moncer ketika dibandingkan rasio utang terhadap PDB milik negara-negara anggota G-20. Lalu, karena itu, apa artinya mari kita terus berutang? Jangan khawatir, rasio terhadap PBD masih jauh dari batas UU! Begitu?

Menyebut aman-tidaknya utang luar negeri (ULN) berdasarkan rasio terhadap PDB sepertinya sudah lama menjadi mantra pelelap tidur. Bekal para perapal mantra tadi adalah Maastricht Treaty. Jampi-jampinya berbunyi begini; rasio utang terhadap GDP masih bisa dianggap sangat aman bila angkanya di bawah 33%. Jika rasionya bergerak di kisaran 33%-60%, pemerintah kudu mulai hati-hati. Sedangkan bila telah menembus 60% artinya utang luar negeri sudah masuk lampu merah. Bahaya!

Kaum neolib memang sangat memegang teguh ajian ini. Itulah sebabnya orang-orang seperti SMI, Nufransa dan gerombolannya bisa tetap tidur nyenyak kendati utang yang mereka buat sudah amat menjulang. Alasannya, ya itu tadi, rasionya terhadap PDB masih aman, sangat aman. Ditambah dengan harta dan sumber daya alam yang masih sangat melimpah, utang yang menggunung tadi di mata mereka bak lalat di ujung hidung.

Melulu membandingkan rasio utang kita terhadap PDB dengan para tetangga yang punya utang lebih jumbo jelas bukan sikap bijak. Ini sama saja anak sekolah yang ditegur ibunya karena nilai ulangannya cuma dapat 50. "Ga apa-apa, lah, ma. Temen-temen aja malah banyak dapat nilai 30 dan 40. Aku masih lebih baik daripada mereka, kan, ma?" kilah si bocah.

Orang-orang ini tidak peduli, bahwa karena utang tersebut anggaran negara tersedot gila-gilaan. Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang 'cuma' Rp387 triliun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun