Mohon tunggu...
Edward Sadeem
Edward Sadeem Mohon Tunggu... Petani - Penyuka kopi

Pemerhati pagi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tribute To Mang Sadri

16 Oktober 2022   02:01 Diperbarui: 17 Oktober 2022   03:41 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Begitu melewati satu sumur timba tua, sepulang menjenguk teman yang sedang sakit, tiba -tiba ingatanku merangsek ke masa lalu. Tampak sumur itu kini sepi tak terpakai, dinding bibir atasnya telah ditinggikan sekira satu meter tingginya dan di tutup dengan susunan papan.

Dulu sumur yang lebih dikenal dengan sebutan sumur stasiun itu  jadi tempat mandi dan cuci bersama para pemukim terdekat dan pegawai KAI.

Adalah almarhum mang Sadri berserta keluarganya termasuk satu-satunya keluarga yang memakai sumur itu dengan harus melintasi rel kereta.

Satu waktu di sore masa bocil, sudah menjadi kegiatan tiap sore , saya dan teman-teman seangkatan mengisi waktu dengan bermain bola di tempat lapang yang berada di sebelah timur stasiun. 

Di tengah permainan tiba-tiba kami dapati ada kereta gerobak pengangkut pupuk sedang lakukan langsiran, satu aktifitas kereta yang bolak-balik pindah jalur dari wesel barat ke timur untuk menyimpan dan mengambil rangkaian gerbong kereta.

Main bola pun bubar. Kami berlarian mencari tempat masing-masing membonceng lewat titian gerbong yang akan ditarik langsir. Sambil tertawa-tawa bahagia telah mendapat mainan baru, kami nikmati perjalanan bolak-balik itu meski harus abaikan larangan ortu dan pegawai stasiiun. Mereka tak mengerti ada sensasi yang mengasyikan meski pun memang untuk ukuran anak-anak usia kelas dua tiga SD hal itu membahayakan diri. 

 Yang terpenting saat itu kami sudah punya patokan kalau ikut langsiran, yaitu selalu tak lupa melihat sinyal muka dimana di situ dipastikan sudah berakhir tidaknya, berangkat tidaknya kereta.Juga apakah sang petugas stasiun, asisten PPKA, masih erlihat ikut tidaknya mengawal lokomotip dengan sambil membawa bendera merah.

Setelah langsiran dinyatakan selesai, kereta pun diberangkatkan untuk melanjutkan perjalanan kembali.  Kami  berseru ke satu sama lain, saling bercelingukan, saling mengabarkan bahwa kereta mau berangkat. Kami pun berloncatan dari titian gerbongnya masing-masing.

Saat itu memang keadaan sinyal muka yang terbuat dari kayu berwarna merah tidak sedang menunjuk ke atas, di duga sinyal itu sedang alami kemacetan, sudah biasa terjadi karena ditarik secara manual dari stasiun lewat bentangan kawat.

Betapa terkejutnya kami saat pandangi dan melepas rangkaian kereta yang melaju mulai kencang., disalah satu gerbongnya dapati ada mang Sadri berdiri memakai celana pendek, bertelanjang dada, berkalung handuk dan memegang ember kecil wadah sabun. 

Kami berteriak memberi tahu dia, tapi teriakan kami tak digubrisnya. Mang Sadri malah  tersenyum -senyum kecil dan melambai-lambaikan tangannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun