[caption id="attachment_130265" align="aligncenter" width="640" caption="INDONESIAN MAN IN HILLBROW "][/caption] MENYAKSIKAN film "The Bang Bang Club", mengingatkan saya akan kota Johannesburg. Ya, film yang diangkat dari kisah nyata tentang empat fotografer bernyali super besar itu memang mengambil setting di kota terbesar di Afrika Selatan (Afsel) itu. Tepatnya pada periode 1990-94, saat rezim Apartheid mulai runtuh, dan ditandai dengan kemunculan dua partai besar: Inkatha Freedom Party (IFP) dan African National Congress (AFN), yang berseteru, meski kemudian akhirnya berkoalisi. ANC sendiri memunculkan nama Nelson Mandela sebagai presiden pertama Afsel yang dipilih secara demokrasi. Bagi yang suka film-film petualangan, "The Bang Bang Club" pasti mengasyikkan, lantaran menceritakan  pergulatan Kevin Carter, Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva menghadapi medan yang sangat mencekam. Maklum, ketika itu perang saudara di antara pendukung IFP dan ANC tengah berkecamuk. Dua dari mereka, Marinovich dan Carter sukses memenangkan penghargaan Pulitzer,  untuk karya mereka. Mungkin karena sentimen profesi, saya pun amat terhanyut menyaksikan film ini. Terlebih, saya juga pernah merasakan betapa ganasnya medan petualangan di Johannesburg. Ya, tahun 2009 lalu, saya memang berkesempatan menginjakkan kaki di Tanah Mandela itu. Ketika itu, saya mendapat tugas dari kantor untuk meliput perhelatan Piala Konfederasi, ajang pemanasan untuk Piala Dunia 2010. Sumpah, awalnya, saya ngeper bukan main. Maklum, Johannesburg adalah salah satu kota paling tinggi tingkat kriminalitasnya di dunia. Saat melakukan riset lewat internet, saya bahkan menemukan data bahwa, setiap harinya tak kurang terjadi 50 pembunuhan lantaran tindak kriminal di Johannesburg! [caption id="attachment_129962" align="alignleft" width="373" caption="KAWASAN TENANG - Dam Emerentia, salah satu kawasan yang tenang dan sejuk, di pinggiran Johannesburg. (foto: Edu Krisnadefa)."][/caption] Nyali saya makin menciut, saat di hari pertama tiba di Johannesburg, terdengar kabar lima turis asal Inggris menjadi korban perampokan. Ini bukan perampokan biasa. Kelima turis itu yang menggunakan mobil sewaan, diikuti dari Bandara O.R. Rambo. Di sebuah tempat, mereka lalu dihentikan kawanan begal itu yang bersenjatakan AK 47. Semua barang bawaan turis-turis itu dirampas dan mereka ditinggalkan begitu saja, nyaris tanpa busana! Sialnya, peristiwa itu terjadi tak jauh dari Stadion Ellis Park, tempat saya paling sering ngetem, saat liputan. Tapi, Alhamdulillah, tiga minggu liputan, saya aman-aman saja. Bahkan, saya menemukan bahwa Johannesbug, dan Pretoria, kota lainnya yang saya kunjungi, menyimpan keindahan yang luar biasa. Masyarakat di sana, dasarnya juga sangat ramah dan santun. Hanya, lantaran tuntutan hidup, beberapa dari mereka-sayangnya cukup banyak-berubah jadi beringas, dan cenderung melawan hukum. Johannesburg sendiri bisa dibilang merupakan simbol perlawanan rakyat Afsel terhadap politik Apartheid yang berlaku di negara itu pada periode 1948 -90-an. Di kota ini, Mandela dan para pejuang lainya telah memulai perjuangan mereka sejak awal tahun 1950-an, hingga sukses menumbangkan rezim Apartheid dengan tampilnya Mandela sebagai presiden pada tahun 1994. Tak heran, begitu banyak monumen bersejarah dibangun di kota ini. Mulai Museum Apartheid, Museum Keluarga Mandela, Museum Militer, hingga Nelson Mandela Square yang terdapat di pusat kota. Johannesburg juga termasuk kota yang amat memperhatikan lingkungan. Salah satunya mereka membangun Johannesburg Botanical Garden, untuk melestarikan tumbuhan dan tanaman langka, seperti Kebun Raya Bogor di Indonesia. Di masa rezim Apartheid, Johannesburg dibagi menjadi 11 wilayah. Tujuh wilayah, khusus dialokasikan untuk warga kulit putih, empat wilayah lainnya di tempati warga kulit hitam, yang dikenal dengan sebutan township. Termasuk Soweto, kota yang melahirkan Mandela dan pejuang penentang Apartheid lainnya, Desmond Tutu. Atas perjuangannya, dua sosok ini sempat mendapat penghargaan Nobel Perdamaian. [caption id="attachment_129963" align="alignright" width="498" caption="MIRIP BROOKLYN - Salah satu sisi kota Johannesburg. Mirip Brooklyn. (foto: Edu Krisnadefa)."][/caption] Johannesburg juga dikenal dengan sebutan Jozi atau eGoli dalam bahasa Zulu, yang berarti "Kota Emas". Memang, keberadaan kota Johannesburg ditandai dengan ditemukannya emas di kawasan Pegunungan Witwatersand, pada tahun 1866. Seperti di kota-kota lainnya di Afsel, di Johannesburg, bahasa yang digunakan umumnya adalah Bahasa Inggris. Namun, dalam di lingkungan yang lebih akrab, orang kulit hitam biasanya menggunakan bahasa Zulu atau Xhosa, yang merupakan dua suku terbesar di Afsel. Sementara orang kulit putih, biasanya lebih suka menggunakan bahasa Afrikaans, seorang kawan saya menyebutnya bahasa Belanda jadul. Warga kulit putih Afsel memang punya darah dari Belanda, atau bangsa Boer tepatnya. Perlu juga diketahui, di Afsel sendiri mereka mengenal 11 bahasa resmi! Kota Modern Sekarang, Johannesburg telah berkembang menjadi kota modern yang amat komersial. Total 70 persen dari produksi industrial di Afsel berasal dari sini. Maka tak heran, hampir semua perusahaan-perusahaan terkemuka di Afsel memiliki cabang di Johannesburg. Bahkan, Bursa Saham Johannesburg adalah salah satu yang paling sibuk di dunia. Di kawasan Sandton, terdapat gedung Ned Bank yang luasnya kira-kira empat kali lapangan sepak bola. Ned Bank adalah salah satu bank terbesar di Afsel, selain Reserve Bank, yang salah satu CEO-nya, Sizwe Nxasana, adalah warga kulit hitam. Masyarakat Johannesburg yang hampir 500 ribu di antaranya berkulit putih juga termasuk yang palling konsumtif di Afsel. Tak heran, di kota tersebut teradapat tak kurang dari 20 mal untuk memenuhi hasrat belanja dan kebutuhan mereka. Sayang tak semua warga Johannesburg bisa menikmati kesejahteraan dan kemewahan itu. Maklum, bangunan-bangunan tersebut, sejak awal memang didirikan oleh warga kulit putih, yang jauh lebih mapan dari sisi pendidikan, ekonomi, dan tentu saja taraf hidup sosial. [caption id="attachment_129964" align="alignleft" width="413" caption="PUSAT KOTA - Salah satu kawasan Bronx di Johannesburg. (foto: Edu Krisnadefa)."][/caption] Sementara warga asli  Afsel berkulit hitam, yang banyak berasal dari suku Zulu dan Xhosa, masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan. Mereka seperti tak memiliki kota mereka sendiri. Bahkan, sebagian besar dari mereka masih tinggal di township-township yang berada kawasan-kawasan kumuh kota. Tingkat ekonomi mereka juga sangat rendah lantaran sebagian besar masih berprofesi sebagai pekerja-pekerja kasar. Seperti kuli bangunan, pembantu, tukang kebun, supir, atau paling bagus menjadi petugas keamanan swasta (security guard), bisnis yang memang tumbuh subur di Afsel. Ironisnya, sebagai keamanan, mereka menjaga rumah-rumah mewah warga kulit putih dari ancaman-ancaman kejahatan yang dilakukan warga kulit hitam seperti mereka. Padahal, untuk meningkat daya saing sumber sama warga kulit hitam, Pemerintah Afsel telah memberlakukan kebijkan Black Economic Empowerement, yang memberikan kesempatan khusus agar potensi kulit hitam bisa unjuk gigi dan hidup setara dengan warga kulit putih. Setiap perusahaan diwajibkan menempatkan orang minimal satu orang kulit hitam di posisi-posisi strategis, seperti manajer, misalnya. Namun, tetap saja mereka tertinggal. Pasalnya, orang-orang kulit hitam sendiri memang masih sulit untuk bisa bersaing dengan warga kulit putih. Hillbrow=Gangster Paradise Hingga saat ini, kebijakan itu tampaknya belum banyak membuahkan hasil.  Bahkan, beberapa township, masih disebut-sebut sebagai kawasan yang menakutkan. Salah satunya, Hillbrow, yang dikenal sebagai kawasan Brooklyn-nya Afsel. Dalam film "Gangster Paradise: Jerusalema" besutan sutradara Ralph Ziman, diceritakan amat jelas, betapa keras dan mengerikan kehidupan di Hillbrow. Perang antargang, yang melibatkan bocah-bocah usai belasan kerap terjadi. Pembunuhan, tindak kriminal, terjadi di mana-mana lantaran bermacam senjata api begitu mudah didapat. Aparat keamanan pun tak punya gigi di sini. Saya sempat tersesat di Hillbrow, saat menumpang sejenis angkotan kota  yang mereka sebut taksi. Bayangkan, saya berada satu mobil Mitsubishi L-300, dengan sekelompok warga kulit hitam dengan tampang menakutkan. Beruntung, saya bertemu dengan seorang pemuda kulit hitam, saya lupa namanya. Sehingga saya bisa aman berjalan di kawasan tersebut, menuju Stadion Ellis Park.  Dia antusias, karena ketika itu, saya mengaku sempat meliput perang di Afghanistan dan Irak. Kawan baru saya itu menceritakan, seminggu sebelum saya "masuk" Hillbrow, ada seorang petugas dari PBB, dirampok dan ditelanjangi di tengah jalan, kemudian jadi bahan tertawaan tanpa ada yang berani menolongnya. Padahal, petugas PBB tersebut sedang menjalankan misi mulia, melakukan riset untuk tugas kemanusiaan. [caption id="attachment_129965" align="alignright" width="508" caption="KAWASAN MUSLIM - Salah satu kawasan muslim yang sempat didatangi penulis di Fordsburg. (foto: Edu Krisnadefa)."][/caption] Di sisi lain, warga kulit putih yang "tersingkir" setelah runtuhnya Apartheid, membangun "kawasan" baru di pinggira kota Johannesburg, yang tata kota dan rumah-rumah mewahnya mirip-mirip Paris atau Milan. Seperti Sandton, misalnya. Tapi, seperti saya sebutkan di atas, Johannesburg dan Afsel tak melulu cerita soal kejahatan, kemiskinan dan kesulitan hidup, serta hal-hal yang berbau negatif lainnya. Dengan kekayakan dan keindahan alamnya, Johannesburg dan Afsel tetaplah memesona. Yang paling fenomenal tentu saja Cape Town. Selain terdapat Table Mountain, pegunungan berbentuk meja, yang begitu indah, di Cape Town, orang bisa menemukan Cape Good of Hope atau Tanjung Harapan, yang dipercaya merupakan ujungnya dunia. Tak heran, Cape Town, menjadi tempat pariwisata nomor satu di Afsel. Yang menarik, di Cape Town juga terdapat makam ulama asal Indonesia, Sheikh Yusuf di kawasan bernama Kampung Makassar. Beliau datang ke Afsel untuk menyebarkan agama Islam. Di Cape Town juga terdapat masjid pertama di Afsel yang didirikan Abdullah Kadi Abdus Salam, yang juga berasal dari Indonesia, Tidore, tepatnya. Namun, Joburg, sebutan untuk Johannesburg, juga tak kalah indah sebenarnya. Sesuai dengan karakter Afsel yang kaya akan jenis flora dan fauna, Di Johannesburg terdapat begitu banyak kebun binatang dan taman-taman budidaya tumbuhan. Afsel sendiri memang dikenal dengan sebutan "Big Five" mengacu kepada lima jenis hewan yang sangat terkenal di sana: Gajah, Singa, Badak Bercula Satu, Kerbau, dan Leopard. Nuansa Italia di Monte Casino Namun, ada satu tempat pariwisata yang rasanya tak bisa saya lupakan. Lebih tepat disebut sebagai tempat hiburan, sebenarnya, yaitu Monte Casino. Ini adalah komplek hiburan yang buka 24 jam dan terletak di kawasan Fourways,  sebelah utara kota Johannesburg.
[caption id="attachment_129966" align="aligncenter" width="531" caption="SIANG DI MONTE CASINO - Suasana "][/caption] [caption id="attachment_129967" align="aligncenter" width="529" caption="MALAM DI MONTE CASINO - Suasana "][/caption] [caption id="attachment_129968" align="aligncenter" width="537" caption="TAMPAK LUAR - Monte Casino tampak luar pada malam hari. (foto: Edu Krisnadefa)."][/caption] [caption id="attachment_129970" align="aligncenter" width="538" caption="MEJENG - Mejeng di Monte Casino."][/caption] Berada di Monte Casino, seperti tidak tengah berada di Afsel. Monte Casino, yang berdiri di atas tanah seluas 85 ribu meter persegi ini tetutup rapat. Di langit-langit bangunan ini, dilukislah gambar-gambar awan, matahari, serta bulan dan bintang, sehingga kita seperti merasa tengah berada di alam terbuka.  Kita bisa merasakan, saat pagi, siang, sore, bahkan malam, meski tak keluar Monte Casino. Dari pintu masuk hingga menuju keluar, terdapat begitu banyak wahana yang menyenangkan. Mulai dari panggung-panggung musik, pentas tari, restoran, hingga kafe-kafe yang juga menyediakan live music. Berada di dalam Monte Casino juga seperti sedang berada di kawasan Tuscany, Italia, tempo dulu, lantaran bangunan ini memang dimaksudkan sebagai replika kawasan tersebut. Tak heran, di dalam Monte Casino, banyak terdapat model rumah-rumah khas Italia tempo dulu yang dijadikan kafe-kafe tempat istirahat para pengunjung. Bahkan, tiga buah hotel di dalam Monte Casino, yang disewakan untuk umum, bangunannya meniru habis hotel-hotel zaman dulu di Italia. Ibarat sebuah desa atau pemukiman, apapun ada di Monte Casino. Mulai restoran, toko-toko yang menjual berbagai souvenir, kafe, hingga toko buku, hingga mesin atm. Begitu juga dengan kasino alias rumah judi, yang memang menjadi salah satu maskot Monte Casino. So, Johannesburg memang tak hanya menjanjikan ketakutan, kekhawatiran, tapi juga kesenangan, dan mungkin kenikmatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI