Mohon tunggu...
Eddy Salahuddin
Eddy Salahuddin Mohon Tunggu... Guru - Indonesia

Menulis menghibur diri dan mengungkapkan rasa dengan hati dan jiwa yang terdalam. Berjuang demi generasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Camui

14 Mei 2020   18:05 Diperbarui: 14 Mei 2020   18:04 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah Maman mundur dari pertarungan di camui, Yanto semakin merasa kalah dengan keadaan. Dengan hanya dua rekan lainnya, ia terus mengalahkan rasa gengsi dalam dirinya. Hujan turun dengan derasnya seirama dengan kegelisahan Yanto. Ia tak tahu dengan dua anak buah saja apakah ia bisa bekerja dengan baik esok hari. Petir dan angin kencang malam itu menyiratkan jika esok akan ada peristiwa tragis. Tapi, Yanto tak ambil pusing dengan kejadian alam. Ia telah terbiasa dengan hujan badai kehidupan di lokasi. Mungkin mati pun akan ia terima demi keberhasilannya. Mungkin sedikit terdengar nekat.

Burung masih berkicau di antara dedauan yang masih basah dengan embun ketika warga desa menuju ladang dan kebun sawit mereka. Ada yang sedang menyirami sayuran di halaman rumah. Minggu depan warga akan panen sayuran dan tanaman bumbu yang mereka usahakan sebulan yang lalu. Tampak Romli bersama istri tercinta bersiap menuju kebun sawitnya yang tak jauh dari rumah.

"Pak, bagaimana kelapa sawit kita? Bagaimana kalau pagi ini kita melihat kebun? Mungkin sudah banyak rumput liar yang tumbuh. Kita harus membersihkannya agar kebun kita bebas dari gulma itu." Istri Romli bersemangat.

"Iya, Bu! Memang rencananya aku mau ajak ibu melihat kebun kita. Bukankah sudah hampir satu minggu kita tidak membersihkan lahan kebun itu. Mudah-mudahan sawit kita tumbuh dengan baik, ya Bu!" ungkap Romli dengan senyum ramahnya.

"Oh, ya Pak. Kabarnya Yanto dan anak buahnya masih saja keras kepala tidak mau menghentikan operasional tambangnya. Ibu jadi tidak habis pikir mengapa dia masih saja ngotot dengan pendiriannya. Padahal Pak kades sudah menganjurkan semua warga agar beralih untuk menanam kelapa sawit," celoteh istri Romli sambil membawa peralatan kebun mereka ke teras rumah.

"Entahlah, Bu! Aku juga heran orang aneh yang satu itu. Masih saja nekat dengan pekerjaan penuh risiko itu," jawab Romli sekenanya.

"Ayo, Pak kita berangkat. Semua peralatan sudah siap. Bekal makan siang juga sudah ada."

"Baik, Bu! Kalau kesiangan nanti udara semakin panas. Sebaiknya kita segera ke kebun agar lebih banyak kesempatan kita membersihkannya."

Wajah dan senyum istri Romli mengembang dalam perjalanan menuju kebun sawitnya. Mereka berharap jika kebun sawitnya berbuah dua atau tiga tahun lagi, Romli akan semakin sering membersihkan kebun. Saat buah sawit mereka dipanen nanti, mereka akan menikmati hasil jerih payahnya. Memang masih sangat lama menunggu saat kelapa sawit berbuah bila dibandingkan ketika mereka bekerja di tambang dulu. Akan tetapi, Romli yakin bertani kelapa sawitlah yang paling tepat untuk menyambung kehidupan mereka pada masa depan nanti.

Di kiri dan kanan jalan yang mereka lewati tampak kebun sawit warga yang telah tumbuh subur. Tampak beberapa warga yang membersihkan pelepah yang mengering. Ada juga yang menyiangi gulma di sekitar pohon agar tidak menggangu pohonnya.

"Eh, Yanto kau mau ke tambang ya?" Tegur Romli saat mereka berpapasan di jalan menuju kebun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun