Mohon tunggu...
Eddy Salahuddin
Eddy Salahuddin Mohon Tunggu... Guru - Indonesia

Menulis menghibur diri dan mengungkapkan rasa dengan hati dan jiwa yang terdalam. Berjuang demi generasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Camui

14 Mei 2020   18:05 Diperbarui: 14 Mei 2020   18:04 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam menjelang tidur, Yanto masih teringat dengan kata-kata istrinya siang tadi. Mimpi untuk menyenangkan istrinya dengan hasil tambang tak lagi dihiraukannya. Ia kecewa dengan sikap istrinya karena tidak memberikan dukungan terhadap usahanya. Ia menyadari menambang pasir timah memang seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Ia gengsi jika harus bergabung dengan kelompok petani sawit. Sambil menghirup segelas kopi di teras depan rumah, Yanto memutar otak bagaimana caranya mempertahankan tambangnya.

"Assalamualaikum, lagi apa, To?" tiba-tiba suara yang cukup dikenalnya menyapa.

"Oh, kau Man. Waalaikumsalam." Jawab Yanto singkat.

Maman rekan kerjanya di tambang menemuinya malam itu. Perbincangan terkait tambang mereka mengisi suasana malam. Udara malam sangat gerah sepertinya akan turun hujan. Hening sejenak dan Maman membuka percakapan serius.

"Yanto, maaf ya! Kayaknya kita hentikan saja usaha kita. Aku tak yakin pasir timah masih memberikan kita rezeki. Buktinya hampir seminggu ini yang kita dapatkan hanya letih dan lelah," ungkap Maman mengejutkan Yanto.

"Wah, kamu jangan bicara begitu. Memangnya apa alasanmu sehingga kau berkata begitu?" tanya yanto penasaran. Ia menatap wajah Maman yang tampak ragu dan khawatir jika Yanto akan menyemprotnya.

"Begini, To. Aku sudah bulat untuk beralih menanam sawit saja. Warga kita sudah banyak yang berhasil menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambang dengan budidaya kelapa sawit."

"Ah, kau begitu saja menyerah. Apa yang kau harapkan dengan kelapa sawit? Soal lokasi tambang yang terbengkalai biarkan saja. Mengapa kita yang harus memikirkannya? Itu urusan Pak kades dan pemerintah kecamatan, Man!"

"Yanto, kau ingat bukan sejak banjir besar melanda desa kita lima tahun yang lalu dan banyaknya jalan desa yang amblas, penderitaan demi penderitaan kita rasakan akibat bencana itu. Apakah kau juga belum mau belajar dari kejadian itu?" Maman mencoba menyadarkan rekannya.

"Bencana itu bukankah memang takdir Tuhan. Mengapa manusia yang dipersalahkan? Hujan yang mengakibatkan banjir bukankah merupakan takdir-Nya. Jadi, bukan karena kita membuka tambang," Yanto sepertinya punya alasan sendiri.

Maman bingung menghadapi dan memberikan pemahaman kepada rekannya itu. Tak lama ia pamit dan mengatakan bahwa esok ia tak akan lagi bergabung di lokasi tambang. Yanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun