Sebuah stasiun televisi menayangkan wawancara dengan tersangka teroris. Stasiun tv itu menyebutnya sebagai ‘wawancara eksklusif’. Mungkin karena memang jarang-jarang ada tersangka teroris bicara panjang lebar di tv mengenai motif, strategi, atau ideologi terornya. Tapi apa maknanya buat khalayak?
Bagi kepolisian yang memberikan ijin wawancara itu, bisa jadi ingin masyarakat yakin bahwa tak ada rekayasa dalam kasus teroris. Mereka tentu gusar dituduh mempolitisasi kasus teorisme, misalnya untuk mengalihkan isu. “Ini lho faktanya, ada orang yang memiliki pandangan radikal. Mereka ini nyata ada, dan memang sedang mempersiapkan sebuah aksi pengeboman,” kira-kira seperti ini frame yang polisi inginkan.
Bagi pihak televisi, ini adalah komoditi. Dengan menyebutnya sebagai ‘eksklusif’, mereka yakin ini merupakan tayangan yang akan menyita perhatian, sebagaimana dulu pernah ada stasiun tv yang lain menayangkan aksi kekerasan mahasiswa di sebuah lembaga pendidikan. Tapi apakah itu etis dan membawa manfaat? Ah, mana peduli mereka.
Buat kita, khalayak televisi, apa maknanya? Oke, mungkin ini akan meningkatkan kewaspadaan kita (sebagaimana ditandaskan sang pembaca berita), bahwa terorisme itu nyata. Tapi sungguhkah kita kemudian menjadi lebih tahu realitas terorisme? Nampaknya masih jauh panggang dari api. Selain sensasinya berupa kengerian dan keterkejutan—dengan frame dangkal media, berita seputar terorisme tak membuat khalayak mengerti kompleksitas masalah terorisme ini, baik soal motif, jaringan, dan lebih penting lagi adalah tangan-tangan yang mengendalikan mereka. Siapa yang paling diuntungkan dari kasus-kasus teroris ini? Media lebih suka menyentuh sisi permukaannya.
Dari tanyangan wawancara itu, tak ada kesan upaya penyadaran buat masyarakat. Wawancara itu sungguh menjadi milik sang tersangka teroris. Kalau tak menghadirkan narasumber pembanding, mestinya pewawancara perform. Ketika sang tersangka balik bertanya, “Apa makna jihad menurut Anda?” Pewawancara nampak gelagapan, yang kemudian disambung oleh tersangka itu dengan penjelasan panjang lebar soal ‘jihad perang’ (jihadul qatl).
Bagi teroris, ini tentu publikasi yang luar biasa. Mereka tak hanya sukses menebar rasa takut, tapi juga menjelaskan ideologinya. Saya membayangkan seperti apa perasaan keluarga korban terorisme yang akan selalu menganggap siapapun yang terlibat dalam kasus teror sebagai pihak yang sama. Dengan label keyakinan Islam, ini juga akan menyulitkan upaya memupus kesan Islam identitik dengan terorisme.
Di tengah upaya negara memerangi teror, bahkan media mainstrem pun nampaknya belum memberikan dukungan nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI