Sedianya helikopter kepresidenan "Air Force One" terbaru AgustaWestland AW101 akan memperkuat Skadron Udara 45 yang bermarkas di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma. Menggantikan heli kepresidenan NAS 332 L1/L2 Super Puma.
Namun kemudian muncul polemik yang menyudutkan sosok Helikopter AW 101. Entah apa motif pelaku yang meramaikan di media dan menjadikan kehadiran Heli AW 101 ini kontroversial. Tuduhan pun bermunculan disana sini yang mengatakan Heli tersebut kemahalan, ada mark up, ada selisih harga dan sebagainya.
Padahal tuduhan ini tidak ada konfirmasinya darimana mereka itu mendapatkan perbandingan harga. Apakah Heli AW 101 yang akan dibeli faktanya memang mahal atau hanya opini yang disebarkan dengan cara tidak bertanggung jawab. Opini yang dimunculkan sudah langsung menghakimi pembelian Helikopter tersebut sebagai tidak taat perintah atasan dan indikasi korupsi.
Saya ingin mengutip pernyataan dari seorang dokter yang juga direktur sebuah rumah sakit di Jakarta ketika beliau menyatakan tetap akan membeli sebuah perlengkapan laboratorium merek tertentu dari negara tertentu yang sangat mahal dibandingkan merek lain. Namun sang dokter tersebut kekeuh dan berani mengambil resiko untuk mempertahankan pendapatnya membeli alat tersebut.
Apa alasan sang dokter? "Ini menyangkut keselamatan manusia, saya tidak mau ambil resiko, berapapun harga alat tersebut, harus itu yang saya pilih, mau yang lain lebih murah, saya lebih percaya merek *** ya karena saya sebagai dokter tahu dan punya pengalaman dan bisa membandingkan mana alat laboratorium yang canggih dan mana yang tidak, terutama saya membutuhkan safety dan hasilnya akurat, karena alat ini untuk menyelamatkan manusia, maka saya tidak berani membeli alat lain. Selain itu merek *** buatan pabrik yang sudah dikenal dunia sebagai pabrik alat kesehatan ternama dan banyak dipakai di negara-negara lain," katanya.
Pandangan sang dokter itu saya analogikan dengan pembelian Helikopter AW 101. Banyak pandangan negatif dan mencibir bahwa pembelian Heli AW 101 pemborosan negara dan mahal. Mereka yang berpandangan seperti itu tidak memahami lebih mendalam, apa dasar kajian dibalik pembelian Heli tersebut.
Tentunya yang menjadi pertimbangan utama TNI AU dalam membeli heli ini adalah mencari alat angkutan udara yang paling aman di dunia. Karena yang akan menggunakan Heli tersebut adalah kepala negara. Maka keselamatan nyawa dan resiko menjadi pertimbangan nomor satu dibandingkan harga. Apakah kita berani mempertaruhkan keselamatan seorang Presiden hanya karena ingin membeli heli yang murah.
Heli AW 101 ini di dunia dikenal sebagai heli evakuasi medis dan SAR. Dari fungsinya yang sering dipakai untuk kegiatan tersebut bisa membuktikan bahwa Heli ini memang heli teraman di dunia. Dia memiliki tiga mesin penggerak baling-baling. Artinya heli ini punya mesin cadangan.
Bayangkan jika kita membeli Heli yang hanya punya mesin tunggal. Kemudian ketika sedang mengudara mesin itu tiba-tiba mati. Tentu heli itu akan terjun bebas. Oleh karena itu akal sehat dan pertimbangan keselamatan VVIP atau seorang pemimpin negara yang akan menggunakan Heli ini harus menjadi kajian dan pertimbangan, jangan asal membandingkan mobil buatan Eropa dengan mobil buatan China.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Pembelian Heli AW 101 ditolak. Niat yang baik tidak selamanya harus mendapatkan apresiasi. Yang penting kita berpijak pada sebuah kajian bahwa membeli alat angkutan udara untuk seorang Kepala Negara yang diutamakan adalah keselamatan, keselamatan dan keselamatan. Kita harus menjaga dan mengawal pemimpin kita agar dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan beliau senantiasa diberikan keselamatan. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H