Pertanyaan yang diajukan oleh Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ketika meminta perumusan dasar bagi Indonesia merdeka, bukanlah suatu pertanyaan basa basi.
Pertanyaan itu juga bukan pertanyaan tanpa tujuan, melainkan suatu pertanyaan yang memanggil memori historis untuk menyusun philosophische grondslag—yakni dasar filosofis yang tidak lahir dari renungan abstrak, melainkan dari pengalaman konkret: pengalaman dijajah, dilenyapkan dalam sejarah, dan dikekang dalam eksistensi. Philosophische grondslag ini kemudian kita kenal sebagai Pancasila.
Maka dasar filosofis ini tidak muncul sebagai ide murni, tetapi sebagai artikulasi dari luka sejarah yang mengendap menjadi kesadaran revolusioner.
Pancasila sebagai philosophische grondslag juga bukan sekadar rumusan ide, melainkan bintang penuntun bagi Indonesia merdeka: pedoman nilai untuk mengarahkan pembangunan bangsa setelah belenggu kolonial dilepaskan. Suatu orientasi normatif, yang menjadi sumber arah bagi perjalanan negara baru, agar kemerdekaan yang diperjuangkan tidak berakhir dalam kekacauan atau kehilangan jiwa.
Kemerdekaan sendiri, dalam pengertiannya yang sejati, tidak lain adalah negasi atas sistem dominasi kolonial—negasi yang bersifat praksis, bukan metafisik; bersifat material, bukan retoris.
Bung Karno, dalam artikulasinya yang historis, tidak merujuk pada kemerdekaan sebagai kebebasan batin, atau sebagai ketinggian moral, apalagi sebagai kesempurnaan teknis kenegaraan. Bung Karno menunjuk pada political independence, yakni pemutusan radikal dari tatanan subordinatif yang dipaksakan oleh kekuasaan kolonial.
Political independence adalah momen ketika subjek historis—yakni bangsa—menolak untuk ditentukan dari luar. Bangsa ini menegaskan dirinya sebagai entitas yang berdaulat, yang tak lagi menggantungkan keberadaannya pada afirmasi dari yang asing, dari yang “lebih maju,” dari yang mengaku sebagai penjaga peradaban. Inilah artikulasi kedaulatan sebagai praksis: bukan sebagai ilusi hukum, tetapi sebagai keputusan eksistensial untuk berdiri di kaki sendiri.
Namun kemerdekaan tidak hadir sebagai titik terminus, melainkan sebagai suatu jembatan emas. Disebut "jembatan" karena kemerdekaan merupakan medium transisi yang mendialektikakan dua bentuk sejarah: yang usang dan yang akan datang. Sedangkan disebut “emas” bukan karena kilau simboliknya, tetapi karena di dalamnya termuat potensi untuk membuka formasi baru, yakni masyarakat pascakolonial yang tidak lagi tunduk pada logika dominasi, melainkan bertumpu pada asas kedaulatan rakyat.
Perlu ditegaskan bahwa apa yang ada di seberang bukan kemewahan. Yang di seberang adalah pekerjaan panjang: menyusun kembali masyarakat yang telah dihancurkan oleh kolonialisme, merebut kembali tenaga produktif yang dirampas, menata ulang struktur sosial, yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Maka jembatan emas adalah simbol dari keberanian untuk melepaskan dan tekad untuk membentuk yang baru.
Tetapi selalu ada suara yang tampil seolah-olah rasional—suara yang mengatakan bahwa rakyat belum cukup “siap,” belum “cerdas,” belum “sehat.” Suara itu menginginkan kemerdekaan sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu, hingga bangsa benar-benar siap. Namun sejarah bukan urusan kesiapan teknis. Sejarah adalah medan konflik, dan dalam konflik itu, ruang kemerdekaan hanya terbuka bagi mereka yang berani merebutnya. Sejarah tidak menunggu kelayakan; sejarah bergerak dengan keputusan.