Mohon tunggu...
Edina Karamy
Edina Karamy Mohon Tunggu... Pengacara - Hamba-NYA

Ibu adalah sekolah kehidupan bagi tumbuh kembang serta berbuahnya cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jujur dan Adil, Identitas Jiwa Taqwa

1 November 2020   20:23 Diperbarui: 2 November 2020   21:00 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata jujur dan adil seringkali disejajarkan bersama dan disingkat "Jurdil". Mengapa kata jujur dan adil bersanding bersama?. Hal itu ibarat satu mata uang yang bernilai, dimana satu sisi adalah nilai jujur dan di sisi lainnya adalah nilai adil. Artinya jujur dan adil menjadi satu paket tak terpisahkan pengejawantahannya dalam sikap dan perilaku. Karena orang bisa berbuat adil berangkat dari rasa jujur sesuai hati nurani, sehingga kejujuran disini menjadi dasar cermin adanya keadilan.

Dalam Islam jujur dan adil adalah bagian dari akhlak al-mahmudah/akhlak al-karimah (perilaku yang terpuji/ perilaku yang mulia). Bahkan jujur dan adil disebut sebagai identitas karakter yang bernilai tinggi yang hanya dimiliki pribadi yang bertaqwa. Sesuai firman-NYA "Inna akromakum 'indallohi atqookum, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa".  Bertaqwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-NYA. Dengan karakter jujur dan adil itulah pondasi terciptanya pribadi yang beriman, bertaqwa. 

Jujur dalam bahasa arab disebut as-Shiddiq, Seperti gelar sahabat  Rasulullah Muhammad SAW, yakni Abu Bakar As-Shiddiq, karena beliau yang berani jujur dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang pertama dikalangan para sahabat. as-Shiddiq (jujur) lawan kata dari al-kidzib (bohong). Sedangkan adil bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya. "wadlo'a syai'in ala mahallihi". yaitu memberikan hak seseorang sesuai proporsinya. Maka jelaslah disini korelasi antara jujur dan adil, yaitu bahwa ketika seseorang menyadari akan hak diri sendiri dan orang lain, maka dengan sendirinya ia berarti sedang mempraktekkan sikap jujur.

Jujur dan adil dalam kehidupan bersama akan sangat bermanfaat untuk memperluas pergaulan sehari-hari, karena dengan jujur dan adil seseorang akan mudah diterima sebagai orang yang amanah/dapat dipercaya, dan sebagai pemimpin ia akan dihormati bahkan dicintai rakyatnya. Secara psikologis orang yang jujur dan adil akan memperoleh ketenangan dalam kehidupan yang diberkahi cinta Ilahi. Mengapa mendatangkan cinta Ilahi?, karena kejujuran dan keadilan adalah ajaran para Nabi. Maka sangatlah beralasan diberikannya gelar "Al-Amin (Yang Dipercaya)" pada Rasulullah Muhammad SAW, atas karakter mulia jujur dan adil yang dimiliki Nabi.  

Sebagaimana kisah terkenal saat peletakan  batu "Hajar Aswad" di pojok timur bangunan ka'bah yang baru direnovasi. Nabi Muhammad SAW yang masih muda mampu menyelesaikan konflik kepentingan diantara suku Quraisy yang hampir bertikai, karena saling berebut untuk mendapat kehormatan meletakkan batu "Hajar Aswad". Nabi dengan bijaksana menyuruh meletakkan batu "Hajar Aswad" di atas kain surban putih, dimana para ketua suku diajak bersama-sama menggotong batu tersebut dengan memegang ujung surban bersama-sama, dan setelah dekat bangunan Ka'bah barulah Nabi meletakkan di sudut timur ka'bah, sehingga konflik itu pun selesai dengan damai.

Semoga saja diantara gemerlap duniawi kehidupan saat ini, diri kita masing-masing dapat memperkokoh karakter jujur dan adil yang menjadi benteng  keselamatan iman dan taqwa kita, baik sebagai benteng kehidupan pribadi dihadapan Allah kelak di hari perhitungan dan pembalasan. Juga benteng keselamatan bagi kehidupan sosial dan negara. Sebab termasuk akar dari korupsi adalah karena tergerusnya sifat jujur dan adil yang sedang melanda kebanyakan para pejabat kita. Yang menandakan rendahnya kecerdasan spiritual, yang berarti menjadi tanda menipisnya iman dan taqwa. Korupsi yang menyeret para pejabat hingga wajib menghuni jeruji penjara, itu hanya ibarat menerima uang muka yang diberikan di dunia, sedangkan lunasnya di akhirat kelak, di neraka., Na'udzubillaah...       

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun