Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (23. Taktik Bumi Hangus di Sambas Darusalam)

27 Januari 2022   20:14 Diperbarui: 27 Januari 2022   20:18 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah sendiri dengan canva app

Tepat pukul 05.00 pagi, Commando mulai memasuki muara sungai yang cukup lebar. Diperkirakan bentangan muaranya mencapai 5 kilometer. Beruntung kapal mengikuti dengan tenang arus sungai yang lagi pasang besar. Kapal layar rasanya terdorong lebih dari kecepatan normalnya.

Terasa sunyi senyap. Dikiri kanan tampak nelayan mencari ikan. Lampu-lampu minyak  yang dibawa nelayan masih tampak berkelap kelip seperti kunang-kunang.

Sejak subuh awak kapal yang bertugas sebagai tukang kayu di kapal telah kembali memperbaiki badan kapal dari kerusakan akibat penyerangan kapal Srinegara.

Apakah itu merupakan taktik?, mengapa mereka tidak gigih dalam mengejar kami?, mengapa mereka menurunkan tekanan serangan secara tiba-tiba? Adalah beberapa hal yang menjadi pertanyaan dibenakku sendiri.  Padahal sebenarnya kapal boleh dikatakan dalam kondisi sama-sama rusak.

Hal yang menguntungkanku pada pertempuran laut sebelumnya dengan Srinegara adalah dimana keberadaan awak kapal terampil yang didatangkan dari Malaka khusus untuk mengoperasikan meriam-meriam serang yang dimiliki Commando. Mereka tentunya seringkali menghadapi situasi dan tekanan yang lebih sulit selama bertugas di Malaka.

Perjalanan semakin masuk di lekuk-lekuk sungai yang berliku seperti ular besar yang tertidur. Lebar sungai semakin kehulu perlahan tampak mengecil. Tetapi tetap saja sungai-sungai di Borneo lebar dan dalam dibanding sungai yang ada di Batavia.

Mulai dititik jalur sungai inilah, aku seperti membaca kembali tulisan Oliver Van Dijk bersama Bestari dengan sangat nyata. Inilah Borneo. Bau harum semerbak pandan-pandan sungai yang subur dikiri kanan menguar indra penciumanku. Rumah lanting penduduk dikirikanan sungai, mirip rumah apung di Bristol tentunya dengan bahan bangunan yang berbeda. Pohon-pohon dikiri kanannya berkanopi lebat dengan batang pohon besarnya tampak berbaris seperti benteng alami yang sangat kuat.

Hanya sedikit rumah di bangun didaratan. Bangunan semuanya menghadap sungai. Tampak perahu-perahu kecil sibuk membawa hasil pertanian baik sayur maupun buah-buahan untuk dijajakan di sepanjang sungai. Barter juga dilakukan dimana ikan, udang sungai segar yang baru ditangkap ditukar dengan kain tenun, garam, dan kebutuhan lain. Rumah semakin bertumpuk dipinggiran sungai terutama didekat pertemuan tiga sungai. Rumah lanting seperti berayun ayun diatas arus sungai yang kadang bergelombang saat kami melintas.

Matahari baru beranjak naik diatas kepala. Persimpangan tiga sungai besar telah ditemukan. Itu penanda kami telah masuk di pusat kerajaaan. Masih tetap tampak sunyi senyap. Hadiah telah di persiapkan untuk diberikan kepada raja sebagai tanda persahabatan dan tanda pembuka komunikasi awal kerajaan Inggris.

Sayang seribu kali sayang. Disampaikan dari pihak kerajaan bahwa raja sedang lagi berlayar dan bersilaturahmi di kerajaan lain di pulau Borneo. Artinya raja sedang tidak berada ditempat karena sesuatu urusan kerajaan. Tentu aku tidak akan kembali tanpa suatu berita apapun. Apalagi ini adalah misi kedua setelah misi pertama yang gagal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun