Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (7. Memilih Bahagia)

26 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 26 Januari 2022   08:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari pictsart app

Sepengetahuanku Arthur-lah arsitek pertunjukan musik tradisional malam ini. Lincahnya kemampuan berkomunikasi Arthur dengan orang-orang pribumi tentu memudahkannya didalam memilih dan menentukan bentuk kesenian yang akan ditampilkan didepan petinggi-petinggi kerajaan Inggris. Pasti tidak mudah untuk memilih musik tradisional yang dapat ditampilkan di depan acara resmi. Kesenian terpilih tentunya harus sudah diakui dan oleh masyarakat lokal juga sangat digemari sekaligus menghibur. Biasanya Arthur juga yang bertanggung-jawab untuk menjemput, mengantar dan sekaligus memberikan uang terimakasih karena telah dapat menghibur tamu-tamu yang hadir.

 "Sejak kecil ibu sudah mengajariku menari" suatu ketika kubertanya alasan mengapa Mayang bisa sangat baik dalam membawakan tarian topeng. Ternyata dorongan kedua orangtuanya dan talenta bakat seni yang menyebabkan ia bisa tampil sangat menarik malam itu.

"Tarian dan nyanyian adalah satu-satunya cara untuk kami menghibur diri" lanjutnya saat kubertanya alasannya berkesenian.

"Kami harus memilih bahagia, ditengah kesusahan, apapun situasinya" jawaban Mayang yang sangat jauh dari dugaanku sebelumnya. Seorang gadis belia pribumi yang selama ini terlihat sangat patuh, tetapi telah tampak kemandirian jiwa untuk memilih bahagia ditengah kesulitan hidup yang dihadapi. Sesuatu hal yang menambah kekagumanku terhadapnya.

Pernah diskusi ringan disaat minum teh sore, Mayang dengan penuh percaya diri menyampaikan kegundahannya terkait situasi kondisi kepenatan yang dihadapi keluarganya dan penduduk pribumi secara luas yang ia lihat senasib dengannya.

 "Siapapun bangsa-bangsa yang datang berdagang di Batavia, mereka akan mengambil sebanyak mungkin dari kami," kalimat Mayang terdengar sangat terpelajar,"buktinya, orang-orang pribumi Batavia hampir semuanya miskin dan melarat. Pembantu, kuli, budak dan kerja paksa adalah keseharian hidup kami," ujar Mayang dengan nada tegas meyakinkan.

 " Tidak ada yang tersisa lagi dari kami," mata Mayang terlihat berkaca-kaca tetapi masih dalam emosi yang terjaga, sepertinya ia sedang membayangkan sesuatu yang sangat tidak diinginkannya.

 "Tamu-tamu bangsa lainlah yang terus kami layani, karena merekalah yang menjadi penentu nasib-nasib kami, Tuan Stewart," saat mengatakan itu ibu jarinya jelas mengarah kepadaku. Aku sengaja membiarkan Mayang mengeluarkan semua kegundahannya. Aku juga berfikir yang seorang Stewart tidak akan bisa merubah keadaan yang terjadi seperti saat ini.

"Kerja paksa telah membuat ayahku sakit keras dan membuat keluargaku semakin melarat," dititik itulah Mayang tidak bisa lagi membendung air matanya yang sejak tadi seperti  segera akan tumpah dari kedua belah kelopak matanya.

Penggalan pembicaraanku dengan Mayang diatas, bermula dari kegiatan rutinnya di sore hari. Ia akan selalu mengantarkan secangkir teh hangat dan kudapan ringan, salah satu kesukaanku adalah ikan tepung goreng dengan sambal saos. Biasanya, Mayang kuminta sesaat menemaniku sambil membicarakan hal-hal ringan yang harus kubicarakan terkait tugas hariannya serta kondisi masyarakat sekitar kehidupannya yang diketahuinya, sambil tentu saja aku harus memperlancar bahasa Melayuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun