Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mlipir Tengen Dalan

19 Juni 2012   17:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:46 2511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah "mlipir" dalan bahasa Jawa kira-kira artinya adalah berjalan pelan-pelan di pinggir. "Mlipir tengen" artinya jalan pelan-pelan lewat pinggir sebelah kanan jalan. Apa pentingnya membicarakan "mlipir tengen" ini?

Semua orang pasti tahu kalau lalu lintas Indonesia itu semua orang berjalan kaki maupun berkendaraan harus berada di sebelah kiri, demikian diajarkan oleh guru maupun orang tua kita. Tapi seringkali di jalan kita melihat ada saja orang yang naik sepeda atau sepeda motor yang mlipir tengen dalan, jalan melawan arus, yang dilakukan dengan sengaja. Memang sih pelan-pelan, tapi tetap saja melawan arus, dan tentu saja tidak benar, karena harusnya dia berjalan di sebelah kiri, bukan kanan.

Kalau sudah tahu salah mengapa dilakukan?

Biasanya orang menyampaikan banyak alasan, diantaranya :

"Bagaimana lagi, mau nyebrang lalu lintasnya ramai, jadi lebih baik mlipir dulu, nanti ada kesempatan nyebrang bisa langsung menyeberang."

"Ah kan saya cuma mau belok kanan di depan situ, daripada nyebrang di sini nanti sampai di situ balik nyebrang lagi mendingan mlipir saja"

"Ngga apa-apa lah, kan cuma sedikit, dari sini ke situ saja. Daripada muter jauh"

Barangkali banyak alasan lain yang menjadi pembenaran perilaku mlipir tengen ini.

Karena sudah saking seringnya melihat orang mlipir di kanan jalan, kadang kita pun menganggap ya sudahlah, biasa saja perilaku itu. Padahal kalau dipikir, perilaku mlipir di kanan jalan ini bisa membahayakan diri maupun pemakai jalan yang lain. Tapi kita lebih suka diam, dan memilih toleran terhadap "pelanggaran kecil" ini, bahkan karena terbiasa mendiamkan, lama-lama ikit-ikutan dan jadi kebiasaan.

Toleran terhadap pelanggaran kecil seringkali membuat kita ikut-ikutan melanggar, karena dianggap kecil lama-lama jadi tidak apa-apa. Orang jadi lupa bahayanya sampai nanti ada kejadian kecelakaan, baru semua orang ribut.

Contoh lain, kita menanamkan kepada anak tidak boleh mencontek, karena itu tidak benar. Tapi ada juga yang akhirnya mengatakan, ya mencontek itu ngga baik, tapi  apa boleh buat kalau sampai terpaksa banget tidak bisa mengerjakan dan tidak sering-sering ya tidak apa-apa lah. Tapi hanya saat terpaksa ya. Atau contoh lagi, kebiasaan mengutip uang yang bukan menjadi haknya, atau menerima "ucapan terima kasih" yang bukan haknya  pada suatu waktu karena banyak orang melakukan juga, lama-lama tahu sama tahu, akhirnya menjadi budaya. Ah kalau yang begini sih di mana-mana juga ada, ya sudah menjadi rahasia umum lah. Akhirnya apa yang tidak benar menjadi tidak apa-apa. Pada waktu korupsi kecil dan kolusi kecil ini dibiarkan, tidak terasa semakin menggurita, dan kita pun terkaget-kaget saat sudah meraksasa. Barulah semua orang ribut, padahal sudah terjadi bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun