Mohon tunggu...
Edgar Pontoh
Edgar Pontoh Mohon Tunggu... Freelancer - Hominum

In search of meaning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Candu Digital dan Dilema Sosialnya

7 Januari 2021   22:09 Diperbarui: 8 Januari 2021   05:19 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by @GabrielsNotes. Quote by @Nava

Suatu hari saya saya menulis untuk video Youtube teman saya. Kami membahas keamanan dasar Facebook dan bagaimana pihak ketiga tidak semudah itu mendapatkan data penggunanya. Sebenarnya, riset yang saya lakukan cukup sampai pada masalah itu. Tapi rasa penasaran membawa saya lebih jauh. Tanpa sadar saya sampai pada detail gurita bisnis digital ini dan bagaimana mereka mempertahankan pengguna mereka. 

Jurnal-jurnal yang saya kutip di tulisan ini juga hal-hal yang saya temukan dari "tersesatnya" saya dalam proses menulis konten Youtube sederhana. Membaca semua kenyataan-kenyataan tersebut, muncul rasa ingin tahu saya lebih dalam. Apa orang bisa lepas dari semuanya ini? Kalaupun tidak, bisakah dia mengontrol lingkungan media sosialnya dengan optimal agar dia tidak menjadi candu? Dan beruntungnya, saya punya kelinci percobaan yang sangat cocok dengan itu. Diri saya sendiri.

Saya membuka akun Twitter. Bear with me, I know it's weird, but it's part of the experiment. 

Saya follow akun resmi para ilmuwan, pemimpin perusahaan publik, pemangku kebijakan, media mainstream dan aktifis sosial untuk melihat isu-isu dunia saat ini dari sumber yang kredibel dan falsifiabel. Saya follow pendukung pemerintah, juga oposisi. Saya follow aktifis pro-life juga pro-choice. 

Konservatif dan liberal. Body-positifity dan "toxic"-masculinity. Sebisa mungkin tidak berat sebelah. Semua itu demi terhindar dari Bubble Effect media sosial. Saya tentu punya preferensi politik dan sosial, tapi dengan mengikuti dua sisi koin, saya memaksa pikiran saya agar terus objektif menilai tiap narasi dan terhindar dari bias. Saya juga jarang memposting sesuatu. Kecuali jika ada pemikiran yang sangat ingin saya keluarkan. Dengan itu, saya mengeliminir mekanisme cheap-rewarding media sosial karena saya tidak akan mengharapkan ada reaksi dari pengguna lain terhadap apa yang saya lakukan. Dengan kata lain, sangat sedikit interaksi. Hiburan? Saya follow akun-akun video lucu dan pop-culture juga. 

Hasilnya? Aktifitas saya tidak se-menyenangkan waktu saya di Facebook tapi relatif bermanfaat. Waktu online saya disana lebih kecil. Saya tidak mengharapkan feedback positif apapun dari siapapun. 

Kesimpulannya? Kita bisa membuat lingkungan media sosial menjadi lebih bermanfaat dan efektif bagi diri kita sendiri. Bisakah saya terapkan hal tersebut di akun Facebook saya? Secara teknis, bisa. Tapi lebih sulit. Akun saya sudah berjalan selama 10 tahun. Jaringan algoritmanya sudah terbentuk. 

Beberapa kali saya unfollow akun yang saya rasa tidak penting/membawa perasaan buruk untuk saya hanya untuk kembali melihatnya di-share oleh orang dalam daftar teman saya. Sebenarnya saya bisa mute orang tersebut. Tapi apa jaminannya bahwa tidak akan ada konten yang tidak ingin saya ikuti muncul di timeline? Lagipula kalau pada akhirnya saya mute orang-orang yang saya kenal, apa poinnya berteman dengan mereka lagi di Facebook? Saya juga jarang berkomunikasi disana. Percakapan saya paling banyak melalui pesan WhatsApp atau telefon biasa. Semua usaha itu tidak worth it saja. 

Akhirnya saya menutup akun Facebook saya. Dan ternyata, FOMO benar-benar cuma ilusi saja. Tidak ada dampak yang signifikan selain saya ketinggalan trend meme terkini dan gosip kehidupan orang-orang. Sama sekali tidak merasa kehilangan hal yang penting. Dan yang paling penting, saya bisa lebih fokus pada diri saya sendiri.

Akun Twitter yang tadi saya buat terus saya pakai untuk membuat saya up-to-date, tentu untuk hal-hal yang esensial saja seperti berita politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dan jangan salah. Saya tidak mengatakan Twitter lebih baik dari Facebook. Faktanya keduanya berjalan pada prinsip bisnis dan mekanisme yang sama seperti yang sudah dibahas. Bedanya, saya menggunakan Facebook lebih dulu sebelum mengetahui sisi lainnya itu. Mungkin kalau saya lebih dulu memakai Twitter, hal yang sama akan terjadi juga. 

Saya tidak melakukan kampanye berhenti menggunakan media sosial. Beberapa orang hidup dari media sosial. Berbisnis disana, mendapatkan pekerjaan dari sana. Ada juga yang bersenang-senang tanpa menjadi candu disana. Saya hanya tipe yang tidak beruntung dan jatuh bukan pada porsi-porsi tersebut. Dan kenyataannya, banyak orang seperti itu juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun