Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 33 : Tarian Gypsy

11 April 2012   09:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:45 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

EPISODE 32 : MATA ELANG bisa dibaca di sini

EPISODE 33 : TARIAN GYPSY

Karin tetap tak menyadari ketika pemilik sepasang mata itu tiba-tiba mendekat, menerobos lalu lalang orang dengan busana yang berkibar-kibar tertiup angin.

Kini Karin merasa ia tengah disorot seseorang dari arah belakang, tak terlalu jauh jaraknya. Ia menoleh. Mata Karin berbenturan dengan sepasang mata yang sedari tadi mengikuti, cuma dua meter darinya. Karin tersentak. Aneh betul cara mata itu memandang.

Karin terpana. Sepsang mata gadis kecil, mungkin tak lebih dari 6 tahun umurnya. Gadis kecil itu mengenakan baju terusan dengan bagian bawah yang terlalu lebar dan mudah berkibar saat tertiup angin. Mukanya lusuh dan rambutnya kusut. Sorot matanya tajam dan curiga, tapi sekaligus seolah ingin mengucapkan sesuatu.

Berhati-hati Karin menatapnya. Ia juga menoleh ke belakang untuk memastikan dialah yang ditatap gadis cilik itu.

”Gadis kecil gipsy!,” desis Karin perlahan. ”Gadis gipsy”

Pelan-pelan Karin menghampiri gadis itu. Ia juga mencoba bersikap manis agar gadis cilik itu tak takut. Tapi gadis kecil malah mundur beberapa langkah. Takut. Hanya saja, matanya tetap seolah ingin bicara banyak.

”Andra...Andra!”

Tiba-tiba suara ada memanggil. Seorang wanita dengan cepat menghampiri gadis itu. Busananya tak banyak berbeda dengan busana yang dipakai si kecil.

”Gipsy!” pekik Karin, ”Tunggu!”

Tapi cepat wanita itu menyeret Andra, gadis kecil itu. Karin berlari menyusul. Mata Andra masih menyorot padanya.

”Tunggu! Aku harus bicara!” Karin mengejar dan bicara dalam bahasa Belanda.

Tapi wanita itu menyelinap cepat sekali. Sulit Karin menemukan wanita itu di antara banyak orang. Ia berjalan cepat menerobos lalu lalang manusia. Bagaimana mungkin perempuan dana anak kecil itu menghilang begitu saja?

Karin berkacak pinggang dan mencari ke sana ke mari. Hanya seliweran orang yang memandang Karin acuh tak acuh yang ia temui.

Ia tersentak ketika tiba-tiba saja sebuah tepukan mendarat keras di punggung Karin jengkel.

”Kalian menyusul?” Karin heran.

”Ya. Sekarang aku menunggu jawaban masuk akal kenapa kau meninggalkan kami begitu saja?” kata Pitra.

”Apakah alasan yang kusampaikan lewat Zaldy tak cukup?” tanya Karin.

”Sama sekali tidak,” sergah Pitra, ”Kau dalam bahaya besar. Dengan mudah Inrenanu bisa melumat kamu”

”Tak kau lihatkah bagaimana penderitaan Riri? Itulah alasan kenapa aku tak mau kalian terlibat lagi,”ujar Karin.

Pitra mendekati gadis itu.

”Kau ingat, di museumkincir De Valk di Leiden, kau pernah menyatakan tak keberatan aku membantu kau sampai tuntas?” tanya Pitra dengan nada rendah.

”Aku ingat”

”Nah, persoalanmu belum tuntas. Dan aku pikir itu bagian yang tersulit. Jadi, aku masih suka mengulurkan tangan,” lanjut Pitra, ”Kau lihat betapa maraknya orang di pusat kota ini. Batapa padatnya keramaian, sementara seonggok makhluk jahat bernama Inrenanu siap membuat kekacauan hanya buat balas dendam untuk persoalan setengah abad lalu, yang tak pernah dilakukan orang-orang gipsy itu. Kalau kau sampaikan itu pada polisi. Apa bisa mereka percaya begitu saja dan mencegah iblisitu mengamuk,” kata Pitra serius. Karin menatap Pitra. Karin tak bersuara.

”Well, kita belum tentu bisa berbuat sesuatupun. Tapi kita telah berada di sini sekarang, dengan niat mencegah pembunuhan besar-bearan itu,” kata Pitra.”Sekarang katakan, apakah kau telah menemukan tempat orang gipsy itu berkumpul?”

”Belum. Tapi seorang gadis kecil gispy nyaris datang padaku,” jelas Karin.

”Nyaris?” sela Zaldy.

”Ya. Sebelum seorang wanita, mungkin ibunya, keburu menarik lengannya menjauh. Ia sekitar enam tahun. Dan, matanya menyorotkan tajam. Aku ingin tahu arti tatapan itu,” tutur Karin.

Pitra berpikir sejenak.

”Nah, selama ini belum kita dengar ada kekacauan di sini. Jadi iblis itu belum muncul,” kata Pitra.

”Tapi aku yakin ia berada di sekitar sini. Menurut daftar acara yang kubaca di pengumuman itu, orang-orang gipsy akan memulai pertunjukkan jam 9 tepat. Sekarang jam delapan. Apa yang musti kita lakukan?” ucap Karin.

”Kita bikin persiapan. Inrenanu harus dihentikan,” cetus Pitra.

”Ya, seharusnya ada cara lain menghabisi monster wanita itu. Aku heran kenapa jarum Kalugatii itu tiba-tiba tak bertuah sama sekali,” kata Karin.

”Karena Smallstone telahmenguras seluruh keajaiban yang dikandung jarum itu lewat lensa penembak di ruang bawah tanah itu,” tutur Pitra.

”Bisa juga. Tapi apakah tak ada rahasia lain?” tanya Karin

”Mungkin ada, hanay saja kita tidak tahu,” kata Pitra.

”Aneh juga,” Zaldy ikut bicara,” Kita hendak menghadapi sesuatu yang kita tahu persis membahayakan. Tapi kita punya jalan keluarnya. Nekad juga.”

Karin termangu-mangu, menyandarkan tubuh ke pilar. Tangannya kemudian merogoh sesuatu di balik lipatan ikat pinggang.

”Kau masih membawa jarum itu,” Pitra menatap jarum di Kalugatii di tangan Karin.

”Ya, aku merasa rahasia hidup Inrenanu masih ada pada jarum ini. Kita tinggal pilih bagian tubuh yang mana yang mematikan makhluk itu,” kata Karin.

”Biasanya memang begitu. Tapi selagi kau pilih-pilih bagian yang mematikan itu, Inrenanu sudah membakarmu seperti kompor pancar gas,” potong Zaldy.

Karin melempar pandangan ke sekeliling dengan tatapan kosong. ”Harusnya ada rahasia itu. Tapi apa?”

Lalu lalang manusia tambah banyak saja. Waktu merangkak terus mendekati pukul 9. Benar-benarkah semua orang tak tahu apa yang akan terjadi di sini?

Zaldy tengah mengamati kepadatan lalu lintas manusia ketika matanya menangkap sekelompok orang tengah berjalan ke arah tempat lapang di antar pusat pertokoan dan aula besar stasiun yang merupakan tempat pertunjukkan seni bebas itu.

”Orang-orang gipsy!” pekik Zaldy.

Karin dan Pitra menoleh bersamaan. Dari koridor Hoog Chatarijne berbondong-bondong muncul orang-orang gipsy dengan gaya dandanan khas mereka. Pakaian mereka umumnya berwarna putih. Kadang dengan pembalut perut menyerupai ikat pinggang yang lebar. Hampir seluruh tubuh mereka dihias dengan perhiasan imitasi yang berbentuk untaian emas atau perak. Pemandangan kelihatan aneh. Di antara mereka, bahkan ada yang membawa anjing piaraan. Pitra memperkirakan jumlah mereka sekitar 50 orang, cukup untuk menjadikan mereka pusat perhatian pagi itu.

”Andra ada di antara mereka, ” kata Karin memperhatikan seorang gadis kecil yang dibimbing ibunya. Ia satu-satunya gadis di antara anak-anak yang lain.

”Siapa itu Andra?”tanya Pitra.

”Gadis kecil gypsy yang kuceritakan itu”

”Perduli betul kau padanya,” celetuk Zaldy.

”Soalnya dia menatapku dengan pandangan aneh. Sudah kukatakan itu padamu,” kata Karin.

””Barangkali karena pakaianmu yang seksi,” ucap Zaldy.

”Lihat, mereka mengambil tempat persis di tengah keramaian,” Pitra menunjuk, sama sekali tak kelihatan mereka teracam. Mereka gembira sekali”

Kelompok gypsy itu segera duduk berkeliling di lantai. Salah satu orang yang tampak seperti pemimpin mereka membagi –bagi tugas. Sebuah tape-recorder diletakkan di tengah, dan beberapa gadis tampak mulai siap. Pakaiannya warna-warni, dan hampir semua rok terusan yang mereka kenakan lebar di bagian bawahnya. Kelihatannya para gadis dewasa ini adalah penari.

Sebentar kemudian seseorang menghidupkan tape-recorder. Suara musik aneh meluncur, tapi amat memikat dan mengundang rasa ingin tahu. Kerumunan orang segera merubung kelompok gelandangan pengamen itu.

”Musik apa itu?” tanya Pitra.

”Itu musik khas Rumania, dibawakan oleh kelompok musik Ansamblul Tineretului din Bucuresti dari Bukares, ibu kota Rumania. Aku punya kasetnya. Tampaknya itu musik pembukaan untuk menarik penonton,” jelas Karin, ’”musik pembukaanbiasa,” kata Karin.

Lama mereka menanti dan mewaspadai sekitar. Karin jadi ragu apakah penuturan Riri soal Inrenanu bakal mengamuk di Utrecht ini benar atau tidak. Sama sekali tak ada tanda-tanda bakal terjadi kekacauan. Pitra jadi merasa aneh mengkhawatirkan sesuatu yang bisa saja tidak terjadi. Inrenanu pasti berada di alam lain atau telah punah bersama dengan reruntuhan kincir kuno di bawah tanah buatan Smallstone itu.

Manakala kerumunan orang semakin sarat, musik dari tape-recorder tiba-tiba berhenti. Para penaripun beristirahat.

Sang pemimpin kelompok gypsy berdiri di tengah dan membungkuk hormat. Ia berpidato dalam bahasa Belanda yang jelek dan sesekali dengan bahasa Rumania. Pakaian orang itu tergolong paling mewah di antara busana anggota kelompok lain. Berbagai perhiasan imitasi menyerupai emas dan permata menghias bajunya. Rambutnya panjang, digelung ke belakang dengan kumis tipis yang rapi.

”Akuingin nonton,” kata Zaldy tiba-tiba.

”Ayolah, tak ada jeleknya,” Pitra mengikiti Zaldy. Karin juga melangkah mengikuti mereka.

Kerumunan penonton semakin lama semakin padat mengitari pengamen gypsy yang duduk bergerumbul di tengah. Pitra, Karin dan Zaldy menyelinap di antar penonton.

Sang pemimpin kelompok ternyata memperkenalkan sebuah tarian tunggal. Seorang wanita maju ke depan dan membungkuk santun. Belahan kain di dada wanita gypsy itu membuatia kelihatan sengaja memamerkan bagian paling memikat dari dadanya. Rambut wanita itu ikal dan hitam. Hidungnya mancung dan kulitnya agak gelap.

[caption id="attachment_171105" align="aligncenter" width="499" caption="Tarian orang Gypsy (foto : barynya.com)"]

1334134780306382614
1334134780306382614
[/caption]

”Tarian ini,” ujar sang pemimpin,”adalah tarian memanggil roh. Kami akan mengiringinya dengan gitar. Penari akan menari sampai lelah. Kemudian kami akan mempersembahkan peramal-peramal kami yang terkenal. Silakan meminta jasa ramalan kami, 10 gulden sekali ramal. Dijamin cocok,” sang pemimpin tersenyum.

”Tari ini tak ada namanya. Tapi roh-toh nenek moyang akan menyukainya dan terpanggil kemari. Peramal kami akan menunjumkan peruntungan Anda sekalian,” lanjut sang pemimpin. Ia kemudian meraih tangan penari wanita, mencium punggung tangan wanita itu dan mempersilakan.

Gitar didentangkan dengan gerakan cepat dan mantap. Penari mulai meliuk-likkan tubuh. Mirip gerakan tarian Spanyol. Tapi yang ini lebih bervariasai dan melibatkan hampir seluruh tubuh termasuk buah dada. Zaldy takjub sekali melihatnya, terutama pada saat-saat penari itu mengangkat tinggi-tinggi kakinya, atau pada saat membuat gerakan membungkuk.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun