Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Ibu] Surat Wasiat dan Sebotol Karbol

21 Desember 2011   23:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahlil ini terasa lama dan membosankan. Aku bolak-balik melirik jam.Harusnya tahlil sudah selesai. Heran aku, suka-sukanya orang-orang ini berlama-lama memanjatkan doa.

“Ayo kita buka surat wasiat Ibu,” aku langsung menghampiri ketiga kakakku begitu tetamu tahlil terakhir meninggalkan halaman rumah.

“Kita harus menunggu sampai tahlilan 40 hari wafatnya Ibu, bukan sekarang, Riska!” ujar Krista, kakak sulungku.

“Memangnya kenapa kalau sekarang. Sama saja!” kataku.

Krista memandang Tiara dan Valya, kedua kakakku yang lain.

“Ya sudahlah kalau begitu. Saya akan telepon pengacara. Pengacara harus ada saat kita membuka surat warisan itu,” ujar Tiara.

“Telepon saja. Tunggu apa lagi?” seruku tak sabar.

Pengacara datang empat puluh lima menit kemudian. Ia membuka surat wasiat bersegel. Bunyi surat wasiat itu cukup panjang. Tapi baiknya kukutip yang penting-penting saja.Ini bunyi surat wasiat ibu.

UNTUK KRISTA, Ibu wariskan rumah yang saat ini sedang kita tempati, lengkap beserta surat-suratnya. Rumah ini ibu wariskan pada Krista karena Ibu yakin Krista mampu menjaga kehangatan rumah dan kesejahteraan penghuninya dengan kasih sayang dan kelemah-lembutannya.

UNTUK TIARA, Ibu wariskan sebidang tanah di desa Mojorejo seluas 550 meter persegi, lengkap dengan surat-suratnya. Tiara layak Ibu warisi tanah ini karena ketekunannya bekerja, karena baktinya kepada keluarga dan karena cita-citanya untuk membangun masjid dan rumah yatim piatu di desa Mojorejo.

UNTUK VALYA, Ibu wariskan deposito di Bank Selamat, yang merupakan harta peninggalan almarhum ayah senilai 240 juta rupiah, berikut bunganya. Valya berhak mendapatkan ini karena ketulusan hati dan karena menjadi satu-satunya anak Ibu yang punya waktu merawat Ibu sepenuh kalbu ketika Ibu dalam keadaan sakit parah.

UNTUK RISKA, Ibu wariskan sebotol asam karbol, untuk mencuci mulutnya yang kotor, yang tak pernah berhenti mencaci-maki orang tua, memfitnah , menyindir, menimbulkan perseteruan di antara anggota keluarga, dan membiarkan dirinya berkarib dengan iblis.

“Apa-apaan ini? Tidak masuk akal!” aku meradang dan mulai memelototi Krista, Tiara dan Valya yang mendapatkan bagian harta, sementara aku dilecehkan dengan warisan sebotol asam karbol.

“Sabar, bu Riska!” pengacara menenangkanku. “Ibu Anda juga menitipkan buku catatan ini; sebuah buku harian yang beliau tulis sendiri semasa hidupnya; mulai dari saat beliau belum menikah sampai menjelang wafatnya. Silakan dibaca. Ini asli tulisan tangan ibu Anda!”

Kuraih cepat buku kumal dari tangan pengacara yang sok pintar itu, dan kubaca. Benar itu tulisan Ibu. Ibu menulis buku hariannya dari halaman belakang ke depan. Jadi ketika kubuka halaman-halaman awal, aku mendapati catatan terakhir buku itu.

14 November 2011 : Aku tak kuat lagi. Penyakit ini sebentar lagi akan mengantarku menyusul ayah. Hari ini sudah kutulis surat wasiat untuk Krista, Tiara, Valya dan Riska, dihadapan pengacara, Norman Biru, SH. Surat wasiat baru boleh dibuka pada saat 40 hari peringatan wafatku.

Aku membaca cepat dan melewatkan bagian-bagian yang kurasa kurang penting.

10 Januari 2010 : Hati orangtua mana yang tak akan pedih mendapati anaknya mendamprat orangtua di hadapan banyak orang. Riska menyebutku ‘orangtua tak berguna, orangtua berotak lemot, orang tua suka pilih kasih’ ketika aku menolak memberinya uang tarikan arisan. Aku tahu Riska perlu uang itu untuk menyusul pacar barunya di Bali, seorang lelaki yang sudah beristri. Sungguh tak rela aku membiarkan Riska mengejar-ngejar istri orang. Dan hari itu ia tetap pergi ke Bali, setelah menggadaikan mobil Avanza yang kubelikan dua bulan sebelumnya.

12 Oktober 2009 : Riska membanting vas bunga tepat di hadapanku. Pecahan vas mengenai pipiku. Salahkah aku karena melarangnyapergi menginap dengan seorang teman lelakinya di luar kota? Hancur rasanya hatiku mendengar ia menyebutku ‘mak lampir banyak bacot’ ketika ia membanting vas bunga di lantai dan meninggalkan, aku, ibunya, menyeka luka di pipi karena pecahan porselin vas bunga.

17 Agustus 2008 : Untuk ke sekian kalinya Riska mengata-ngatai aku dengan kata-kata yang sangat tidak pantas. Di hadapan sejumlah teman kuliahnya, ia bilang “ya, ibuku tuh, udah pikun, rada miring otaknya, suka nggak ngerti keinginan anak muda”.

1 Januari 2000 : Tahun baru, millennium baru. Namun terasa menyesakkan dada. Riska mulai menunjukkan tabiat aneh. Ia mulai suka membentak-bentak, dan sulit dikendalikan bila permintaannya tidak dipenuhi. Aku heran juga dari mana ia beroleh kata-kata kotor setiap kali ia marah. Apa yang terjadi dengan putri bungsuku?

Aku mendengus. Ini catatan harian menyebalkan. 61 catatan berikutnya isinya memuji-muji kebaikan Krista, Tiara dan Valya dan sisanya catatan tentang aku yang sulit diatur, sulit menjaga sopan santun lisan, bermulut kotor dan menghambur-hamburkan uang ibu.

Dan aku mulai terpaku pada bagian akhir catatan ibu.

16 Maret 1993 : Riska demam hebat. Tubuhnya menggigil, matanya terbelalak ke atas. Aku kuatir sekali. Ayah sedang tugas ke Jakarta dan kakak-kakak Riska tak ada di rumah. Aku memanggil taksi dan sendirian menggendong Riska ke rumah sakit dalam hujan deras. Di rumah sakit, dokter mengatakan beruntung aku segera membawa Riska ke rumah sakit. Terlambat sedikit, aku bisa kehilangan anak ragilku yang cantik. Riska harus dirawat hampir sebulan di rumah sakit dan harus rajin berobat hari-hari berikutnya. Kata dokter, penyakit Riska memang perlu waktu penyembuhan yang lama. Dan aku tak pernah berhenti bedoa pada Yang Kuasa agar Riska, buah hatiku, sembuh.

28 Juli 1992 : Kubelikan Riska rok cantik sebagai hadiah masuk SD. Rok berbahan kain halus yang saat itu teramat mahal. Ia lucu dan manis sekali dalam rok itu. Tak pernah sebelumnya aku melihat ia demikian cantik.

11 April 1992 : Sepeda untuk Riska; sebuah sepeda yang kuat dan kokoh, meski sebenarnya ayah bilang tak ada cukup uang untuk membeli sepeda semahal itu. Sepeda pertamanya! Aku sendiri yang mengajarinya belajar naik sepeda. Sungguh saat-saat yang menyenangkan.

19 Juli 1990 : Riska putri ragilku masuk TK. Duh cantik sekali Riska dalam seragam baru TK itu. Kupeluk ia sebelum masuk sekolah hari pertama. Ia gadis cilik yang pemberani dengan senyum cerah mengembang di pipinya.

22 Desember 1986 : Hari Ibu, tapi hari yang sulit bagi dua orang ibu; aku dan Dasimah. Aku memergokiDasimah, perempuan muda buruh cuci sedang meletakkan sesuatu di semak-semak dekat pembuangan sampah secara sembunyi-sembunyi. Tak percaya aku pada pandanganku. Ia meninggalkan bayi perempuan mungil yang baru saja dilahirkan. Dasimah memeluk lututku memohon aku tidak melapor pada siapapun dan meminta aku merawat bayi itu. Dasimah tak mampu menghidupi bayi yang katanya tak jelas kemana bapaknya pergi. Aku tak bisa segera memutuskan. Aku telah memiliki tiga anak perempuanku sendiri yakni Krista, Tiara dan Valya. Apakah ayah dan anak-anakku bisa menerima kehadiran satu putri lagi yang bukan anaknya? Bayi mungil malang itu, sungguh jelita, seperti memandangku penuh harap, seperti menancapkan sinar bahwa akulah yang akan menjadi ibu yang mengantar hidupnya di masa depan.

Kukatakan pada Dasimah aku akan merawat bayi itu. Dasimah sendiri kemudian pergi entah kemana. Aku pulang dengan bayi mungil itu. Di luar dugaan, ayah, Krista, Tiara dan Valya menampakkan suka cita luar biasa atas kehadiran bayi itu. Aku memberinya nama Riska dan meminta ketiga anakku berjanji menatap Riska sebagai adik dan anggota keluarga baru, tak ada beda dan jeda dalam berbagi kasih sayang.

Sampai di titik ini aku membelalakkan mata, dan menutup mulut, tak percaya pada yang aku baca. Benarkah semua ini?

“Kenapa kalian tidak pernah mengatakan ini padaku? Kenapa tak ada yang bilang aku cuma anak pungut?” aku bertanya pada tiga kakakku, seingatku kata-kataku dibarengi getar bibir.

“Karena sejarah itu tidak perlu disampaikan pada siapapun,” kata Krista. “Kami bahkan tak pernah menganggap catatan tanggal 22 Desember 1987 sebagai catatan yang penting. Kami---kita—tak pernah kenal istilah anak pungut. Kamu bagian dari keluarga ini. Itu saja.”

Ada debar dahsyat di dadaku, seperti letupan bom berdaya ledak tinggi yang teredam sunyi. Aku menangis sesenggukan, kemudian menyambar sebotol cairan asam karbol di meja yang tadi dikeluarkan oleh pengacara dari tasnya. Di tengah hujan aku memanggil ojek yang lewat, minta diantar ke makam ibu, malam itu juga.

Aku memeluk pusara Ibu, masih dengan botol plastik penuh karbol, dalam iringan rintik hujan malam itu, lewat penerangan lampu motor tukang ojek.

“Maafkan aku, ibu. Engkau seorang yang mulia, dan aku adalah anak berhati iblis dan bermulut comberan. Betapa aku buta dan tuli kasih sayangmu. Betapa aku tak pernah belajar cara berterimakasih. Aku berdosa padamu, Ibu. Ampuni aku! Aku akan terima wasiat dan warisanmu, Ibu! Bahkan ketika Ibu harus pergi, masih juga ibu meninggalkan wasiat bijak untukku melalui percik-percik cinta dalam larutan karbol ini………”.

Sejenak kemudian aku tak bisa berbicara lagi. Suaraku habis untuk menangis. Tenagaku terkuras untuk menginsyafkan diri betapa bodohnya aku. Dan kemudian, lamat-lamat kudengar tukang ojek berteriak-teriak.

“Mbak…..mbak jangan……jangan minum karbol itu! Itu beracun, mbak……”

Tapi teriakan itu terlambat untuk mencegah meluncurnya sebotol karbol lewat tenggorok ke perutku. Aku hanya ingin Ibu tahu aku tak sekadar mencuci mulutku dengan karbol ini; aku harus menelannya untuk membersihkan iblis yang bersarang dalam diriku.

Dan aku tak mendengar apa-apa lagi, selain suara lembutIbu yang seperti tengah berbicara ketika memelukku sewaktu aku kecil dulu.

“Riska anak ibu…….sudah kudengar permohonan maaf tulusmu. Hanya saja, harusnya kamu tak perlumenemui Ibu dengan cara seperti ini untuk memohon maaf. Kini kau tak bisa balik lagi ke dunia fana untuk menjadi Riska yang lebih indah……..kini nyamankan dirimu dalam peluk Ibu. Ibu akan menebus kesalahan dan kegagalan membimbingmu untuk menjadi manusia berhati surga. Sekarang kita akan bersama selamanya. Tidurlah yang lelap dalam nina-bobo Ibu……..”

Catatan :

Bagian bunyi surat warisan di atas terinspirasi dari sebuah teks dalam buku pelajaran bahasa Inggris yang saya lupa judulnya.

Karya-karya fiksi HARI IBU lainnya bisa dinikmati di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun