Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Real Madrid, Jepang, Korsel, dan Indonesia

27 Oktober 2014   02:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414327085662004980

[caption id="attachment_331247" align="aligncenter" width="546" caption="Penyerang Real Madrid, Karim Benzema, mencetak gol saat melawan Barcelona, Sabtu (25/10/2014). (sumber: Kompas.com/afp photo/dani pozo) "][/caption]

REAL MADRID berhasil melipat musuh bebuyutannya Barcelona dengan skor telak, 3-1, dalam duel  el clasico jilid 169, di Santiago Bernabeu, Sabtu malam (25/10/14). Laga antara dua rival abadi itu tak sekadar menyajikan tontonan menarik, tetapi juga pelajaran berharga soal pentingnya mental pantang menyerah.

Madrid tertinggal lebih dahulu oleh gol cepat Neymar Jr saat laga baru berlangsung  tiga menit. Sempat terkejut, namun para pemain Madrid tetap bermain sesuai rencana yang telah disusun sebelum laga. Mereka meningkatkan tempo permainan, selalu berupaya lebih keras merebut bola dari kaki lawan, dan memanfaatkan kecepatan para pemain sayap untuk melakukan serangan cepat dan mematikan.  Alhasil Madrid mampu menutup laga dengan kemenangan berkat gol-gol Cristiano Ronaldo (menit 35-pen), Pepe (50), dan Karim Benzema (61).

Bukan kemenangan mudah, mengingat lawan yang dihadapi adalah Barcelona. Jumpa pers usai laga, entrenador Los Galacticos Carlo Ancelotti mengatakan, timnya menang karena memang mereka menginginkannya. Dia menginstruksikan kepada para pemain untuk tetap menjalankan strategi sesuai rencana.  Kata kunci kemenangan itu adalah kerja keras, cepat, dan menjalankan strategi sesuai rencana.

***

Ketika masih menjadi jurnalis di Harian Pagi Tribun Manado, Agustus 2009 silam, saya ditunjuk sebagai moderator sebuah diskusi terbatas yang menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten, seperti dari Bank Indonesia (BI) Manado, pelaku ekonomi, pengamat ekonomi, dan peneliti. Kami berdiskusi mengenai persoalan ekonomi Sulawesi Utara dengan tema; “Menjadikan Sulut Gerbang Pasifik”.

Pimpinan BI Manado ketika itu, Jeffrey Kairupan, selain membeberkan berbagai indikator perekonomian Sulut, dia juga menyoroti soal mental masyarakat dalam dunia kerja, terutama yang dia lihat sendiri.  Dalam amatan Jeffrey, ada kebiasaan buruk masyarakat kita yakni suka menunda-nunda pekerjaan. Pekerjaan mudah yang mestinya bisa diselesaikan hanya dalam beberapa jam, baru beres seminggu kemudian, itupun setelah didesak.

Hal senada dilontarkan Max Wilar, peneliti senior Komunitas Peneliti Garuda (KPG) Yogyakarta. Max mengambil contoh masyarakat Sulut yang secara kualitas sumber daya manusia (SDM), dilihat dari segi human development index (HDI), berada di urutan kedua setelah DKI Jakarta. Tetapi dari sisi kemajuan daerah, Sulut justru tertinggal dibanding sejumlah daerah lain di Indonesia.

Di mana letak persoalannya? Baik Max maupun Jeffrey sepakat bahwa ‘kekalahan’ Sulut dibanding daerah lain, maupun Indonesia dibanding negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, ada pada mentalnya. Semangat untuk maju sangat rendah! Bahkan, menurut keduanya, etos kerja kita sangat rendah dan ada semacam “mental RMS” alias rajin malas sama saja.

Kemudian Max Wilar menganjurkan agar kita mempelajari perubahan besar-besaran yang dilakukan bangsa Jepang melalui Restorasi Meiji (1866-1869) serta meniru mental bushido mereka. Ini semacam revolusi mental ala Jepang atau dikenal sebagai jalan hidup samurai. Setiap orang Jepang harus bekerja keras, memiliki kehormatan – lebih baik mati/bunuh diri (harakiri) daripada kalah/dipermalukan, hormat kepada atasan, keberanian, bertanggungjawab, serta tidak mementingkan diri/kelompok sendiri.  Etos tersebut mengubah Negeri Sakura yang terpuruk menjadi bangsa modern dalam tempo 30 tahun saja.  Jepang mampu melakukan lompatan ekonomi untuk sejajar dengan bangsa-bangsa Barat, mampu menghasilkan aneka produk berteknologi tinggi, berkualitas, dan bersaing menembus batas negara.

Korea Selatan juga demikian. Lepas dari penjajahan Jepang tahun 1945, lalu babak belur oleh perang saudara, dan masih tercatat sebagai negeri miskin hingga tahun 1960-an, kini bermetamorfosis menjadi negara industri maju. Korsel bangkit dari kemiskinan dan kelaparan yang bahkan lebih buruk dibanding Indonesia pada masa yang sama.

Artikel berjudul “Negeri yang Terus Berlari Kencang” yang ditulis Budi Suwarna di Harian KOMPAS, mendeskripsikan, hingga 1980, kondisi ekonomi Korsel lebih buruk ketimbang Indonesia yang sama-sama sedang berusaha bangkit setelah melewati masa perang kemerdekaan dan pergolakan politik. Saat itu, produk domestik bruto (PDB) Korsel hanya 64,4 miliar dollar AS, sedangkan PDB Indonesia 86,3 miliar dollar AS. Sumber daya alam Korsel juga hanya seujung kuku sumber daya alam Indonesia.

Mengutip sejarawan militer Amerika Serikat, Russel Gugeler, menggambarkan kondisi ”Negeri Gingseng” pada 1966 dalam buku Korea 1988: A Nation at the Crossroads (editor G Cameron Hurst III, 1988), pasca Perang Korea 1950-1953, Korsel tak lebih dari tumpukan debu. Perang hanya menyisakan desa-desa yang compang-camping, tanah telantar, serta 48 jutaan warga miskin dan kurang makan.

Lihat sekarang, Korsel berlari kencang, hanya butuh dua dasawarsa untuk menyalip Indonesia, dan  terus berlari menjauhi kita dalam segala hal. Kini pendapatan per kapita Korsel mencapai 25.977 dollar AS (2013), Indonesia 3.590 dollar AS. Dalam bahasa awam, pendapatan rata-rata setiap warga Korsel per tahun sebesar tujuh kali lipat pendapatan per tahun rata-rata orang Indonesia. (Sumber)

Resep rahasia apa yang diterapkan Korsel? Tidak ada! Seperti Indonesia, Negeri Ginseng juga menyusun rencana pembangunan lima tahunan. Bedanya, negeri K-Pop mampu memacu pembangunan infrastruktur dengan disiplin tinggi dan kerja keras di bawah kepemimpinan kuat.

Masih menurut artikel Budi Suwarna, pemerintah Korsel menanamkan doktrin cinta produk lokal sebagai bagian dari sikap patriot. Orang Korsel malu bila menggunakan produk asing karena dianggap tidak membantu negara. Bandingkan dengan orang Indonesia yang bangganya minta ampun bila mengenakan produk impor. Lebih mengenaskan lagi, justru banyak pejabat kita (khususnya yang bermental korup) hobi plesiran ke luar negeri dan memanfaatkan uang negara untuk belanja produk-produk fashion bermerek yang harganya tak masuk akal sehat. Misalnya dia membeli tas tangan merek “anu” seharga Rp 1 miliar. Padahal karya anak Indonesia juga berkualitas setara dengan harga tak sampai seperseribunya tapi sama sekali tak dilirik. Bacotnya doang koar-koar soal mencintai produk dalam negeri.

Tidak ada waktu untuk menyesal. Seperti halnya Real Madrid yang tertinggal lebih dahulu dari Barcelona, tetapi kemudian bangkit dan memenangkan laga. Demikian pula kita saat ini, dengan “Kabinet  Kerja” Jokowi-JK yang baru terbentuk, mudah-mudahan menjadi lokomotif bertenaga raksasa yang mampu menarik gerbong-gerbong bangsa ini dalam rel konstitusi menuju Indonesia Hebat. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun