Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan soal WTP: Wajar Tanpa Pengecualian

16 April 2016   02:52 Diperbarui: 16 April 2016   03:09 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="TIGA DIMENSI - Menumpang gambar perahu tiga dimensi. Antara foto dan artikel tidak ada kaitannya. (dok pribadi)"][/caption]KITA mulai dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di sini beta pakai KBBI Online dari Pusat Bahasa Depdiknas.

Wajar a 1 biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun; 2 menurut keadaan yg ada; sebagaimana mestinya. tan·pa adv tidak dng...; tidak ber-...: menghilang--bekas; 

Tanpa adv tidak dng ...; tidak ber- ...: menghilang -- bekas; 

Pengecualian n 1 proses, cara, perbuatan mengecualikan; 2 penyimpangan dr kaidah (tidak mengikuti kaidah.

Kalau digabung, maka ‘wajar tanpa pengecualian’ artinya ‘biasa sebagaimana adanya dan tidak ada penyimpangan dari kaidah.’

Jadi, kalau beta hidup normal-normal saja, berperilaku biasa, tidak berbuat aneh-aneh, boleh dikata beta telah berperilaku WTP. Kalau beta berperilaku aneh-aneh di luar kewajaran, maka beta bisa dapat predikat WTF… silakan cari sendiri apa arti singkatan itu dalam bahasa Rote, bahasa daerah beta.

Bagaimana kalau beta ditugaskan untuk menilai perilaku orang-orang di luar sana dan diberi kewenangan untuk kasih predikat WTP atau WTF. Tentunya beta sendiri harus hidup wajar dan tidak berperilaku aneh. Intinya beta sendiri harus menyandang predikat WTP.  Kalau beta sendiri diam-diam ternyata WTF, maka beta harus sangat pandai sembunyikan perilaku itu dan kalau sampai kelakuan WTF tercium apalagi bocor, maka beta harus pandai berkelit.  

Tadi siang, beta nyetir mobil. Karena mobil di depan jalannya terlalu pelan, beta pun harus pelan. Mau menyalip tak bisa karena jalanan sempit dan dari arah berlawanan juga banyak kendaraan. Lihat ke belakang lewat spion tengah, ada bapak-bapak bawa motor dengan kecepatan cukup tinggi. Jarak dengan mobil beta sudah sangat dekat tapi dia tetap laju.  Akibatnya dia tabrak bagian belakang mobil dan jatuh tersungkur. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bangkit tapi terlihat sempoyongan sambil pegang dada dengan tangan kiri. Beberapa penggali jalur kabel di pinggir jalan spontan menolong. Beta buru-buru turun dari mobil dan langsung mendatangi si Bapak dengan niat hendak marah.

Si Bapak langsung minta maaf sambil pegang dadanya yang sakit. Mungkin terhantam stang motor. “Maaf Pak, saya yang salah.”

Beta yang sebenarnya sudah emosi tinggi,  langsung  mendingin, biarpun masih agak jengkel. Malah jadi kasihan dan segera memeriksa dada di Bapak yang sakit. “Tadi Bapak kelihatannya kurang konsentrasi. Jarak sudah dekat tapi Bapak tetap ngebut. Akibatnya ya begini.”

“Iya, tadi saya buru-buru mau jemput anak sekolah.”

“Dadanya masih sakit?”

“Iya sakit, tapi mulai berkurang. Makasih, Pak, maaf  Pak, mobilnya jadi lecet.”

“Oh, tak apa-apa, cuma lecet dikit. Yang penting Bapak tak cedera. Masih bisa bawa motor? Kalau tak bisa biar saya antar.”

“Bisa kok. Maaf ya, Pak.”

Bapak pengendara motor itu tahu dia salah dan langsung minta maaf. Dia terlihat wajar, bukan pura-pura kesakitan. Ada memar di dada sebelah kanan, membuktikan bahwa dia mengalami cedera. Karena dia bersikap wajar dan tak berpura-pura, beta pun tidak mau memperpanjang masalah. Setelah memastikan dia sehat, beta juga memaafkan dia, berpelukan. Masalah selesai!

Peristiwa tadi siang itu terjadi spontan. Dipastikan tidak ada niat jahat dari si Bapak, apalagi beta. Karena terjadi tanpa niat jahat, tidak ada rencana jahat, maka masalah mudah diselesaikan secara waras. Seandainya Bapak itu menabrak lantaran ketidakwarasan atau malah sengaja menabrak karena ada niat terselubung, mungkin dia akan menuntut macam-macam.

Kita tahu hukum rimba berlalu-lintas, kan? Pokoknya pengendara motor selalu benar kalau terjadi insiden. Ketika dibawa ke aparat penegak hukum, dia bisa saja bilang peristiwa terjadi di Jl Sudirman, padahal jelas-jelas kejadiannya di Jl Teuku Umar.  Dia yang menabrak, bisa saja dia mengaku ditabrak karena beta jalan mundur/atret. Nah, kalau itu terjadi, beta yang merasa benar pun tentu  membela diri habis-habisan. Kalau perlu kita duel aja kalau dia ngotot dan merasa paling benar. (*)

DISCLAIMER:Artikel ini tak ada kaitannya dengan peristiwa lain di luar cerita ini, tak terkecuali singkatan yang dipakai.  Ini sekadar menceritakan peristiwa yang beta alami sendiri, Jumat, 15 April 2016, sekitar pukul 11.30 WIB. Kalau ada kesamaan singkatan dan seolah-olah sedang menyindir orang/pihak tertentu, itu semata-mata sebuah kebetulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun