Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | BuAya Masuk Sosial Media

13 Januari 2020   19:27 Diperbarui: 13 Januari 2020   19:28 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari semakin getir. Hujan petir berlomba sampai di tanah tanah kering, bukit bukit gersang, sungai sungai dangkal dan lautan tercemar. Lahan tertutup adukan semen yang mengeras. Bukit hijau dicukur hingga gundul. Sungai sebagai tempat sampah berjalan. Aliran airnya membawa apa saja hingga ke lautan. Dan kini laut pun ikut merasakan rusaknya kehidupan.

Berbagai cara BuAya lakukan untuk menghentikan itu semua. Berdoa pada Tuhan. Menampakkan diri di permukaan. Memakan para pekerja pabrik yang buang polutan. Memasuki perkampungan tepi sungai untuk mencari makan. Namun tak ada perubahan. Semua makin menjadi jadi. Para biadap hanya lari tunggang langgang. Habis itu berulah pulang. Huh... dasar tuman.

BuAya akhirnya kehilangan habitatnya. Sarang tempat membesarkan anak anaknya musnah diterjang banjir bandang. Sungai dan rawa tempatnya mencari makan berubah menjadi sarang barang. Ada plastik, sepatu bekas, kaleng makanan, buih berbau harum namun mematikan, sirup berwarna namun berasa asam. Hingga anak anaknya mati kelaparan.

BuAya marah dan dendam. Dalam janjinya, ia akan bertandang ke tepian sungai, tepian rawa dan lautan, atau bahkan ke rumah manusia manusia yang sudah dirasuki setan. BuAya minta keadilan. Bukankah bangsa kita berpegang teguh pada Pancasila sila kelima? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. BuAya ingin menagih janji bangsa. Karena ia juga merasa sebagai rakyat Indonesia. Sebab terlahir, hidup dan dibesarkan di bumi Indonesia.

"BuAya, kamu mau ke mana?" Pemerhati lingkungan menghalaunya.

"Aku mau menagih janji bangsa. Aku mau mendapatkan keadilan."

"Untuk apa? Bukankah keadilan yang terbaik hanya pada Tuhan? Mengapa kau tagih itu pada manusia manusia kerasukan? Mintalah pada Tuhanmu."

"Aku tahu. Tapi Tuhan pun menginginkan hambaNya berusaha, bukan?"

Pemerhati lingkungan pun tak bisa melakukan banyak hal. Semuanya terasa sia sia di jalankan. Sebab kesadaran yang minim menghambat program. BuAya pun menjadi korban. Hujan deras disertai aliran permukaan yang kuat membuat BuAya hanyut ke perkotaan. BuAya merasa riang sebab ia tak perlu jauh jauh lagi mendatangi pemerintahan untuk menagih janji keadilan. Tuhan telah membantunya memberikan jalan.

Tapi malang tak dapat ditolak. BuAya masuk perangkap setan. Terciduk di dalam selokan. Di tangkap, di tutup matanya, di ikat lalu ditaruh dalam kotak yang tak lama bergerak dan berjalan. Rontaannya tak membuat tangan tangan setan iba. Justru mereka semua bergembira dengan hasil tangkapan. Kata mereka, ini rezeki bagus untuk menghasilkan uang besar.

Ternyata BuAya ditangkap sama pemburu harta. Sebab nilai ekonomis kulitnya yang tinggi, katanya. Selang beberapa hari setelahnya, BuAya terkenal di sosial media. Masuk berita. Masuk iklan TV dan media massa. Bahkan di market places, BuAya pun dilepas dalam transaksi penjualan dalam hitungan dolar. Bukan dalam rupa yang sebenarnya. Sepatu, ikat pinggang, dompet dan tas bersisik tebal, cantik terpajang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun