Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

I Love Writing (19) : Rajin Membaca, Malas Menulis. Bagaimana Ini?

19 Maret 2011   12:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Aku suka sekali membaca buku. Teman-teman menyebutku sebagai si kutu buku. Tapi, mengapa ya aku tak kunjung menulis?”

Ada seorang rekan -- sebaiknya tidak saya sebut namanya – yangrajin membaca buku. Dia suka membeli buku yang sesuai dengan minatnya. Ia gemar membaca buku manajemen, psikologi populer, agama, dan buku how to lainnya, di samping textbook ilmu ekonomi yang wajib dibaca untuk keperluan mengajar. Setiap hari dia meluangkan waktu membaca minimal selama satu jam. Dalam sebulan dia membaca paling tidak 2 buah buku yang berketebalan sedang. Selain membaca buku, ia pun menikmati koran harian yang dilangganinya. Begitulah, membaca baginya sudah menjadi menu sehari-hari seperti halnya makan dan minum.

Suatu hari saya menganjurkannya untuk menyambungkan kegemaran membacanya itu dengan kegiatan menulis. Saya dorong ia untuk menulis ke media massa. Apa jawabnya? Dia mengaku tertarik juga menulis, tetapi ia sudah tidak mau menulis lagi karena pengalaman pahit yang pernah dialaminya ketika mencoba mengirim tulisan ke sebuah koran.

Ceritanya begini. Dulu ia pernah mengirim tulisan ke sebuah koran. Tiga kali ia mengirim tulisan ke situ. Tetapi, ia kecewa karena tidak satu pun dari ketiga tulisannya itu dimuat. Setelah mengirim artikel, ia selalu menunggu dengan penuh harap agar tulisannya dimuat. Ketika koran yang dilangganinya, tempat ia mengirim tulisan itu,diantar pagi-pagi ke rumahnya, ia pun membuka koran itu dengan penuh harap. Ia membayangkan artikel opininya dimuat dan namanya tercantum dengan cetak tebal di halaman 6 koran itu. Tetapi, dua minggumasa menunggu sudah cukup membuatnya putus harapan. Tulisan yang kedua dan ketiga pun bernasib sama, ia menunggu pemuatan dengan sia-sia. Penolakan ketiga tulisannya itu telah cukup membuatnya berhenti menulis ke koran. Dia emoh menulis lagi. “Saya malas menulis lagi, toh tak akan dimuat.” ujarnya bernada putus asa. Sejak saat itu ia malas menulis, kecuali menulis karya ilmiah untuk kepentingan di tempatnya mengajar. Rupanya, menulis bergaya ilmiah populer di koran ternyata bukanlah perkara gampang.

Sesungguhnya, sebagai pembaca aktif, tentu saja sahabat saya bisa belajar teknik menulis dari buku-buku dan koran yang dibacanya. Bacaan-bacaan tersebut, secara tak langsung memperlihatkan bagaimana merangkai kata sehingga membentuk kalimat yang efektif. Teman saya itu sesungguhnya dapat belajar teknik menulis dari buku-buku dan koran yang dibaca dan mencoba menerapkannya tatkala menuangkan ide-ide kreatifnya ke komputer. Apalagi, secara intelektual ia sangat berpotensi sebagai penulis yang sukses.

Akhirnya saya dorong dia untuk mencoba dan mencoba lagi dengan menjelaskan beberapa contoh penolakan yang pernah dialami para penulis sebelummenjadi penulis terkenal dan sedikit pengalaman saya sendiri. Saya bilang, penolakan itu hanyalah bagian dari proses yang biasa dialami seorang calon penulis beken. Redaksi koran tidak akan mampu bertahan terhadap ketekunan dan kegigihan penulis yang rajin mengirimkan tulisannya dan suatu saat tulisannya pasti akan dimuat. Saya juga menganjurkannya untuk membuat blog/website sehingga dapat mem-posting tulisan tanpa penolakan atau seleksi apapun dari pihak manapun. “Hitung-hitung untuk mengasah kemampuan menulis sebelum masuk ke koran atau majalah,” kata saya kala itu. Tetapi, hingga kini rekan saya itu belum juga kembali mencoba menulis ke koran atau majalah.

Berbeda dengan teman saya tadi, ada juga rekan lain yang suka menulis tetapi malas membaca. Ia menulis di blog yang dibuatnya kira-kira setahun yang lalu. Ia mengisi blog itu rata-rata dengan 3 artikel pendek dalam sebulan. Jadi, ia lumayan rajin menulis. Tetapi, dua bulan terakhir ia menjadi kian malas menulis. Mengapa? Ternyata penyebabnya, ia mengaku kehabisan ide untuk ditulis. Kalau pun ia berhasil menyusun artikel, susah baginya untuk memberi bobot pada artikelnya. Ia hanya sanggup menulis hal-hal umum yang sudah diketahui masyarakat. Hampir tidak ada sesuatu yang baru yang memberi bobot pada tulisannya. Ada niat kuat untuk menulis di koran, tapi ia pun bingung, apa hal berguna dan baru yang pantas ditulis. Ternyata tidak ada, karena ia malas membaca. Membaca membuat seseorang ‘berisi’, dan isi itu memberi bobot pada karya tulisnya.

Ada orang yang rajin membaca, tetapi enggan menulis. Sebaliknya, ada yang senang menulis, tetapi malas membaca. Kedua-duanya tentu tidak lengkap bagi pengembangan karier di bidang penulisan. Menulis dan membaca seyogianya tidak dipisahkan. Mereka harus dikawinkan sehingga mampu melahirkan ide-ide yang berbobot dan bermanfaat bagi pembaca.

Dengan perumpamaan lain dapat dikatakan bahwa membaca tanpa menulis seperti orang yang terus-menerus makan tanpa mau bekerja. Menulis tanpa membaca seperti orang bekerja dan bekerja saja tanpa makan.

Nah, apakah Anda termasuk orang yang telah berhasil mengawinkan aktivitas membaca dan menulis? Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun