Saya ingin memulai tulisan ini dengan contoh mengenai dua orang yang berbeda sikap terhadap tambahan pekerjaan. Yang satu selalu siap menerima tugas tambahan, yang satunya lagi senantiasa menolak.
Masing-masing sikap dan perilaku terhadap rangkap tugas tersebut akan memiliki dampak. Seperti apa? Yuk kita bahas lebih lanjut.
Kisah Heriana
Saya mempunyai seorang teman yang jauh lebih muda dibanding saya. Sebut saja namanya, Heriana. Ketika melamar dan berhasil diangkat menjadi CPNS dulu, ia menggunakan ijazah SMP, padahal saat itu ia punya ijazah STM yang kebetulan sedang tidak ada formasinya.
Pemikiran orangtuanya saat itu, yang penting bisa menjadi PNS saja dulu, soal lainnya urusan nanti saja. Heriana cukup lama bergulat dengan pemikiran, apakah akan menunggu pembukaan PNS dengan ijazah terakhirnya nanti atau sekarang saja melamar dengan ijazah SMP.
Orangtua dan beberapa saudaranya akhirnya mendorongnya untuk melamar dan ternyata dia lulus.
Dasar anak rajin, Heriana bekerja dengan tekun dan selalu ingat belajar. Ia banyak belajar secara otodidak. Ia tertarik dengan ikhwal yang menyangkut penggunaan teknologi infomasi terkini. Ia belajar desain grafis, belajar pemrograman, dan lainnya.
Ia juga tidak berhenti belajar hingga STM, melainkan melanjutkan kuliahnya sambil tetap bekerja hingga menjadi sarjana. Setelah ijazah STM-nya diakui, beberapa tahun kemudian ijazah sarjananya pun diterima sebagai dasar penggajian di lembaga tempatnya bekerja.
Pada awalnya ia ditugaskan sebagai sopir dan akhirnya menjadi staf teknis di bidang yang berkaitan dengan teknologi. Penguasaannya terhadap penerapan teknologi terbilang maju pesat karena ia belajar mandiri.
Di samping kemauannya belajar yang besar, ia juga sering menerima tugas tambahan dari atasan langsung dan tidak langsungnya.