Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Jangan (Pernah) Menyesal Menjadi Penulis!

14 November 2020   18:13 Diperbarui: 29 November 2020   06:00 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menulis (Sumber gambar: princesasempreendedoras.com)

Apakah sahabat sudah menetapkan mengisi hidup ini dengan menulis? Apakah menjadi penulis adalah pilihan sesungguhnya? Tidakkah kita yang sekarang berkomitmen menjadi penulis akan menyesal kemudian?

Menjadi Penulis

Misalkan kita sudah memutuskan untuk menjadi penulis, entah menjadi penulis amatiran atau profesional. Entah menggunakan sebagian besar waktu untuk menulis atau sebagian kecil saja. Entah dapat uang dari menulis atau tidak. Entah tulisan kita sering menjadi artikel utama atau tanpa label.

Apa pun pilihan pekerjaan kita selalu dengan risiko. Risiko berhasil atau gagal. Risiko terkenal atau tak dikenal. Demikian pula ketika kita memilih menjadi penulis.

Hendaknya disadari bahwa pilihan menjadi penulis  ini ada risikonya. Lantas, apa saja risiko yang bisa didapat ketika kita berkomitmen menjalani hidup ini dengan menjadi penulis? Apa pula peluang yang bisa kita petik dengan status sebagai penulis?

Siap Menerima Kritik

Pertama, jika kita salah tulis, kemungkinan kita akan mendapatkan kritik, hujatan, atau cacian. Banyak penulis yang sudah mengalaminya. 

Kendati, belum tentu kita salah dalam menulis atau tidak dimaksudkan untuk memojokkan seseorang atau sekelompok orang.

Dalam konteks ini, yang bermain adalah interpretasi dan imajinasi pembaca yang bisa saja berbeda dengan apa yang kita maksudkan di dalam tulisan. 

Orang bisa menafsirkan apa pun tentang isi tulisan kita. Orang bisa menafsirkan dari apa yang tertulis atau yang tersirat dalam tulisan.

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah dengan senantiasa mengupayakan menulis berdasarkan fakta atau data yang benar dan dari sumber yang terpercaya. 

Menulis dengan cermat dan hati-hati. Pilihan bahasanya pun tak lepas dari etika atau kesantunan. Begitulah seyogianya.

Akan tetapi, jangan juga terlalu baperan, nggak nanti begini, nggak nanti begitu, dalam menulis. Menjadi penulis yang serba khawatir. Jangan!

Kalau tulisan kita sudah merupakan hasil upaya maksimal, saya yakin kita akan selamat dan bahkan bisa mendapat jempol dari pembaca. Jadi, menulis dan menulis sajalah dengan sebaik-baiknya.

Berpola Hidup Sederhana

Kedua, penulis harus siap hidup sederhana. Sebetulnya, ada banyak peluang untuk mendapatkan pendapatan dari menulis. Bisa sebagai kolumnis di beberapa media, sebagai penulis biografi, sebagai bagian dari redaksi media mainstream, dan lainnya. 

Kalau kita sudah masuk ke dalam pekerjaan itu, kemungkinan persoalan penghasilan tak menjadi masalah besar.

Akan tetapi, jika memilih menjadi penulis freelance atau penulis lepas, mesti disadari bahwa pendapatan dari menulis sama sekali tak bisa diandalkan. Terlebih-lebih bagi penulis yang sudah berkeluarga yang kebutuhannya jauh lebih besar daripada hanya menanggung diri sendiri.

Kalau dia ingin hidup lebih baik, maka ia mesti mendapatkan penghasilan dari sumber lainnya. Misalnya, menyewakan rumah kost, memiliki sawah-ladang dan bertani, bekerja sebagai pengajar, pegawai kantoran, dan lainnya.

Kesediaan Terus Belajar

Ilustrasi membaca untuk menulis (Sumbergambar:takeaim.nu)
Ilustrasi membaca untuk menulis (Sumbergambar:takeaim.nu)

Ketiga, kesediaan untuk terus belajar. Coba dibayangkan apa yang akan terjadi jika seorang penulis emoh belajar, malas meningkatkan pengetahuan dan pengalaman.

Katakanlah, ia memang memiliki komitmen untuk menjadi penulis dan siap menjalani kehidupan sebagai penulis. Tetapi sayangnya, ia tidak suka menambah pengetahuan dengan  membaca, berdiskusi, mengamati banyak hal, dan seterusnya.

Penulis semacam ini dapat dipastikan akan segera kehabisan gagasan. Bagai sumur, ia sudah mengering. Tak ada air hujan atau air klebutan dari bawah tanah. Alhasil, tak ada yang sudi menimba air dari sebuah sumur yang kering itu.

Untuk mengatasi hal itu, maka penulis harus terus-menerus belajar, mengisi diri dengan ilmu pengetahuan, memperlengkapi diri dengan pengalaman diri sendiri dan dari pengalaman orang lain.

Ia pun mesti mengedepankan kemampuan berpikir kritis dan kreatif terhadap setiap fenomena kehidupan. Kepekaaannya mesti terus diasah. Tanpa hal itu, dia akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan status dirinya sebagai penulis.

Berlatih dan Berlatih

Keempat, harus ada kesediaan berlatih. Kita tak akan pandai berenang hanya dengan membaca buku teori berenang. 

Kita juga tak akan bisa menggunakan komputer hanya dengan membaca buku teknik berkomputer. Kita harus praktik berenang dengan terjun ke air, kita harus praktik menggunakan komputer.

Namun demikian, bukan berarti teori sama sekali tidak penting. Teori tetap perlu karena dengannya kita akan tertuntun mempelajari hal baru secara bertahap, step by step, sehingga memudahkan kita dalam memahaminya. Akan tetapi, semua teori sama sekali tak berguna apabila tidak diteruskan dengan praktik nyata yang berkelanjutan.

Menulis pun membutuhkan praktik nyata. Tak hanya sekali dua kali, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tak ada yang bisa didapat secara instant dalam hal ini. Semuanya melalui proses yang panjang dan memakan waktu.

Dalam perjalanan karier sebagai penulis, mungkin kita sempat dipengaruhi oleh para penulis terkenal yang kita kagumi. Mungkin kita mengagumi satu, dua, atau bahkan lebih tokoh penulis terkenal di Indonesia atau dunia.

Akan tetapi, pada titik tertentu dalam perjalanan tersebut, sang penulis akan menemukan gaya sendiri: menemukan jati dirinya. Dan, dengan jati diri itu, si penulis menunjukkan kekhasan, keunikan, atau keistimewaannya.  Ia tidak menjadi epigon penulis ternama mana pun. Dia telah menjadi dirinya sendiri.

Mensyukuri Anugerah Tuhan

Kelima, menjadi penulis itu adalah anugerah. Ya, setiap orang sejatinya memiliki bakat tertentu yang terpendam, yang bersifat potensial. Bakat itu harus digali, diasah, dan diaktualisasikan sehingga bermanfaat nyata dalam kehidupan.

Berbakat menulis merupakan sebuah anugerah. Memiliki bakat atau ketertarikan yang besar terhadap dunia tulis-menulis adalah sebuah berkat yang luar biasa. Berkat Tuhan yang seharusnya mendapat perhatian serius.

Oleh karena itu, hendaknya kita mensyukuri anugerah Tuhan dengan menggunakan dan mengasah bakat itu dengan sebaik-baiknya sehingga tak hanya menjadi potensi terpendam, bahkan teraktualisasikan dalam kehidupan nyata dan menjadi passion.

Kesempatan Berbagi Kebaikan

Keenam, punya kesempatan untuk berbagi kebaikan. Menulis bisa menjadi jalan untuk berbagi kebaikan. Ya, berbagi kebaikan melalui tulisan. 

Apa yang kita ketahui, kita bagikan. Pengalaman hidup juga bisa kita bagikan. Berharap agar apa yang kita bagikan itu bisa bermanfaat bagi orang lain.

Menjadi penulis, dengan demikian, adalah kesempatan sempurna untuk berbuat kebaikan bagi banyak orang. Ya, berbuat kebaikan bagi banyak orang melalui tulisan!

Ilustrasi penulis wajib belajar (zedge.net)
Ilustrasi penulis wajib belajar (zedge.net)

Coba pikirnya ini: sebuah tulisan di kompasiana bisa dibaca puluhan, ratusan, bahkan terkadang sampai ribuan orang. 

Nah, kalau sebuah tulisan dibaca begitu banyak orang, bukankah ini sebentuk upaya berbagi yang demikian nyata? Apalagi artikel yang kita tulis sudah sampai puluhan bahkan ratusan jumlahnya, berapa pembaca sudah menikmati tulisan kita dan mendapatkan dampaknya!

Dampak yang saya maksud dalam bentuk pembaca mendapat pengetahuan dari tulisan kita. Pengaruhnya di tingkat kognitif. 

Lebih lanjut, mungkin materi tulisan itu lebih dari sekadar referensi bagi pembaca bahkan memengaruhi sikap mereka. Lebih lanjut lagi, mengubah perilaku (behavior) si pembaca.

Nah, pada tingkat mana pun dampaknya, yang terpenting bagi penulis adalah dia sudah menyumbangkan gagasan demi gagasan kepada pembaca dengan tujuan kebaikan. 

( I Ketut Suweca, 14 November 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun