Katakanlah, ia memang memiliki komitmen untuk menjadi penulis dan siap menjalani kehidupan sebagai penulis. Tetapi sayangnya, ia tidak suka menambah pengetahuan dengan  membaca, berdiskusi, mengamati banyak hal, dan seterusnya.
Penulis semacam ini dapat dipastikan akan segera kehabisan gagasan. Bagai sumur, ia sudah mengering. Tak ada air hujan atau air klebutan dari bawah tanah. Alhasil, tak ada yang sudi menimba air dari sebuah sumur yang kering itu.
Untuk mengatasi hal itu, maka penulis harus terus-menerus belajar, mengisi diri dengan ilmu pengetahuan, memperlengkapi diri dengan pengalaman diri sendiri dan dari pengalaman orang lain.
Ia pun mesti mengedepankan kemampuan berpikir kritis dan kreatif terhadap setiap fenomena kehidupan. Kepekaaannya mesti terus diasah. Tanpa hal itu, dia akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan status dirinya sebagai penulis.
Berlatih dan Berlatih
Keempat, harus ada kesediaan berlatih. Kita tak akan pandai berenang hanya dengan membaca buku teori berenang.Â
Kita juga tak akan bisa menggunakan komputer hanya dengan membaca buku teknik berkomputer. Kita harus praktik berenang dengan terjun ke air, kita harus praktik menggunakan komputer.
Namun demikian, bukan berarti teori sama sekali tidak penting. Teori tetap perlu karena dengannya kita akan tertuntun mempelajari hal baru secara bertahap, step by step, sehingga memudahkan kita dalam memahaminya. Akan tetapi, semua teori sama sekali tak berguna apabila tidak diteruskan dengan praktik nyata yang berkelanjutan.
Menulis pun membutuhkan praktik nyata. Tak hanya sekali dua kali, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tak ada yang bisa didapat secara instant dalam hal ini. Semuanya melalui proses yang panjang dan memakan waktu.
Dalam perjalanan karier sebagai penulis, mungkin kita sempat dipengaruhi oleh para penulis terkenal yang kita kagumi. Mungkin kita mengagumi satu, dua, atau bahkan lebih tokoh penulis terkenal di Indonesia atau dunia.
Akan tetapi, pada titik tertentu dalam perjalanan tersebut, sang penulis akan menemukan gaya sendiri: menemukan jati dirinya. Dan, dengan jati diri itu, si penulis menunjukkan kekhasan, keunikan, atau keistimewaannya. Â Ia tidak menjadi epigon penulis ternama mana pun. Dia telah menjadi dirinya sendiri.